Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan terkait ketentuan ambang batas atau presidential threshold 20 persen kursi DPR. Gugatan atas Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum itu ternyata diajukan empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Dilansir dari detikJogja, keempat mahasiswa tersebut adalah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna. Mereka merupakan mahasiswa Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Jogja.
Ketua Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN, Gugun El Guyanie, menyebut putusan MK tersebut sebagai putusan monumental. Menurutnya, dari sekian pengajuan judicial review, baru kali ini MK mengabulkan gugatan tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kenapa ini monumental? Karena satu, banyak permohonan JR (judicial review) yang ditolak ya soal angka presidential threshold. Kedua, dikabulkannya ini mahasiswa dan kebetulan mahasiswa UIN," ujar Gugun, Kamis (2/1/2025).
Gugun menyebut putusan tersebut juga menegaskan bahwa MK tidak disetir oleh kekuatan dinasti politik. Menurutnya, pasal yang digugat sudah lebih dari 30 kali diuji di MK dan tidak pernah dikabulkan.
"Itu artinya bahwa dugaan atau tuduhan bahwa MK itu disetir oleh oligarki, MK itu tunduk pada kekuatan kekuasaan dinasti, itu tidak benar juga dari putusan hari ini," imbuh dia.
Ia mengeklaim sejak awal inisiatif untuk mengajukan gugatan itu datang dari diri para mahasiswa tersebut. Setelah putusan MK itu, dia berujar, publik akan mendapat banyak alternatif calon presiden (capres) saat pemilihan presiden (pilpres) di waktu mendatang.
"Kalau angka presidential threshold itu tidak dihapus oleh MK, maka setiap pilpres ya ketemunya capres-nya itu-itu aja dari partai-partai besar, yang itu pasti sudah dikooptasi, didominasi, dihegemoni oleh kepentingan oligarki," pungkasnya.
Diketahui, putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo terkait perkara 62/PUU-XXI/2023 di gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025). MK mengabulkan seluruhnya permohonan tersebut.
"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Suhartoyo.
Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan Mahkamah dalam putusan itu mengatakan pedoman untuk melakukan rekayasa konstitusional dapat dipertimbangkan pembentuk undang-undang dalam merevisi UU Pemilu agar jumlah pasangan calon presiden dan wakil presiden tidak membeludak.
Artikel ini telah tayang di detikJogja. Baca selengkapnya di sini!
(iws/gsp)