UIN Jogja Ungkap Alasan 4 Mahasiswanya Gugat Presidential Threshold

UIN Jogja Ungkap Alasan 4 Mahasiswanya Gugat Presidential Threshold

Jauh Hari Wawan S - detikJogja
Kamis, 02 Jan 2025 20:36 WIB
Ilustrasi Palu Hakim
Ilustrasi uji materi presidential threshold di MK. Foto: Ilustrasi Hukum (detikcom/Ari Saputra)
Sleman -

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan empat mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Jogja untuk menghapus ambang batas atau presidential threshold minimal 20 persen kursi DPR sebagai syarat pencalonan calon presiden dan wakil presiden. Ketua Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN, Gugun El Guyanie, menyebut para mahasiswa mengajukan judicial review terhadap ambang batas atau presidential threshold tak dilatarbelakangi motif politik kekuasaan.

Gugun meyakini kunci dikabulkannya pengajuan judicial review oleh para mahasiswanya karena tidak ada motif politik kekuasaan. Sebab, sejak awal inisiatif untuk mengajukan gugatan itu datang dari diri para mahasiswa tersebut.

"Saya kira pertama bahwa apa yang di motif dari pengujian ini, motif JR ini mahasiswa ini objektif, dia tidak tidak ada subjektif kepentingan kekuasaan tertentu. Coba bayangkan kalau yang yang mengajukan ini misalnya tokoh partai politik yang tidak lolos presidential threshold," kata Gugun saat dihubungi wartawan, Kamis (2/1/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia bilang, mahasiswa sebagai pemohon dalam gugatan ini merupakan bagian dari rakyat.

"Jadi pemohonnya benar-benar ya jelas mereka adalah bagian dari rakyat yang ingin agar ruang-ruang demokrasi itu tidak dikendalikan oleh oligarki dengan cara apa? Dengan cara disikat itu pasal presidential threshold itu," sambung dia.

ADVERTISEMENT

Baginya, apa yang dilakukan empat mahasiswa UIN itu murni atas dasar kepentingan rakyat. Agar dalam setiap momen pilpres, calon yang maju bisa lebih bervariatif dan membuat publik memiliki banyak pilihan.

"Betul. Ya, karena mereka mahasiswa itu bagian dari masyarakat yang gelisah. Kalau angka presidential threshold itu tidak dihapus oleh MK, maka setiap pilpres ya ketemunya capres-nya itu itu aja dari partai-partai besar, yang itu pasti sudah dikooptasi didominasi, dihegemoni oleh kepentingan oligarki," ujarnya.

Adapun keempat mahasiswa tersebut adalah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna. Mereka merupakan mahasiswa Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Jogja.

Gugun berkata, dari sekian kali pengajuan judicial review, baru kali ini MK mengabulkan gugatan tersebut. Selain itu pihak yang mengajukan gugatan merupakan mahasiswa.

"Itu artinya satu kenapa ini monumental? Karena satu banyak permohonan JR yang ditolak ya, soal angka presidential threshold, yang kedua dikabulkannya ini mahasiswa dan kebetulan mahasiswa UIN," ujarnya.

Gugun menilai, putusan hari ini menegaskan bahwa MK tidak berada di bawah kekuasaan oligarki. Serta tidak disetir oleh kekuatan dinasti politik.

"Itu artinya bahwa dugaan atau tudihan bahwa MK itu di setir oleh oligarki. MK itu tunduk pada kekuataan kekuasaan dinasti itu tidak benar juga, dari putusan hari ini ya," imbuh dia.

Simak lanjutannya di halaman berikut

Sebelumnya, melansir detikNews, Mahkamah Konstitusi (MK) menghapus ambang batas atau presidential threshold minimal 20 persen kursi DPR atau memperoleh 25 persen suara sah nasional di pemilu sebelumnya sebagai syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. MK menyatakan semua partai politik peserta pemilu memiliki kesempatan untuk mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.

Putusan tersebut dibacakan oleh Ketua MK Suhartoyo terkait perkara 62/PUU-XXI/2023, di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/1/2025). MK mengabulkan seluruhnya permohonan tersebut.

"Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Suhartoyo.

Dalam pertimbangannya, MK menilai pengusungan pasangan calon berdasarkan ambang batas terbukti tidak efektif menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu. MK juga menilai besaran ambang batas lebih menguntungkan partai politik yang memiliki kursi di DPR.

"Dalam konteks itu, sulit bagi partai politik yang merumuskan besaran atau persentase ambang batas untuk dinilai tidak memiliki benturan kepentingan (conflict of interest)," ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra.

MK lantas menyarankan kepada DPR dan pemerintah dalam merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017, untuk memperhatikan jika pengusulan pasangan calon tidak didasari lagi oleh ambang batas. Saldi mengatakan partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon, maka dapat dikenakan sanksi larangan ikut serta dalam Pilpres berikutnya.

"Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau, gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional," tuturnya.

"Dalam hal ini, misalnya, jika jumlah partai politik peserta pemilu adalah 30, maka terbuka pula potensi terdapat 30 pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusulkan partai politik peserta pemilu," imbuh Saldi.

Halaman 2 dari 2
(apu/ahr)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads