Akademisi UGM Soroti Kurangnya Peran Pemerintah dalam Konflik Finns-Desa Adat

Akademisi UGM Soroti Kurangnya Peran Pemerintah dalam Konflik Finns-Desa Adat

Asti Azhari - detikBali
Rabu, 30 Okt 2024 09:06 WIB
Tangkapan layarΒ pesta kembang api saat umat Hindu menggelar ritual keagamaan di Pantai Berawa,Β Kuta Utara, Badung, Bali.
Foto: Tangkapan layarΒ pesta kembang api saat umat Hindu menggelar ritual keagamaan di Pantai Berawa,Β Kuta Utara, Badung, Bali.
Badung -

Konflik antara Finns Beach Club dan masyarakat adat di Bali mencuat saat perhelatan pesta kembang api di Pantai Berawa, Kuta Utara, Badung, yang bertepatan dengan upacara adat masyarakat setempat. Insiden ini memicu kecaman dari berbagai pihak, terutama umat Hindu yang merasa simbol-simbol keagamaan mereka dilecehkan oleh acara hiburan yang diadakan kelab tersebut.

Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM), Tody Utama, menyoroti kurangnya peran pemerintah dalam konflik ini. Tody menilai pemerintah memiliki peran penting untuk menjembatani kepentingan adat dan industri pariwisata. Sebab, desa adat memiliki peraturan lokal atau awig-awig yang kuat dalam mengatur kehidupan masyarakat sehari-hari.

Di sisi lain, Finns Beach Club beroperasi berdasarkan izin resmi dari pemerintah Bali, yang berfokus pada aspek ekonomi dan kontribusi pendapatan daerah. Keberadaan beach club ini didukung oleh pemerintah, meski masyarakat adat menuntut tanggung jawab terhadap dampak budaya yang ditimbulkan oleh kegiatan hiburan di sana.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, kasus Finns Beach Club menggambarkan tarik-menarik kepentingan antara masyarakat adat dan industri pariwisata yang makin kompleks di Bali. "Fenomena ini bukan hanya soal satu pihak melanggar adat, tetapi mencerminkan kontestasi ruang dan pluralisme hukum di Bali," ujar Tody, Senin (28/10/2024) dilansir dari detikTravel.

Tody menyarankan agar sanksi adat bisa menjadi alat negosiasi antara masyarakat adat dan pengelola beach club. Sanksi tersebut, seperti denda atau kewajiban melaksanakan upacara permintaan maaf di pura desa adat, dapat menjadi solusi damai dalam menyelesaikan konflik. "Misalnya, pembayaran sejumlah denda dan juga kewajiban untuk melakukan upacara permintaan maaf atau penyucian di pura milik desa," jelas Tody.

Namun, Tody juga menegaskan sanksi adat ini tidak efektif tanpa dukungan pemerintah. Tanpa adanya keterlibatan pemerintah, desa adat tidak memiliki daya paksa yang kuat untuk menerapkan sanksi kepada entitas luar seperti beach club. "Tanpa dukungan dari pemerintah, desa adat sulit menetapkan sanksi adat yang punya daya paksa efektif," kata dia.

Tody menekankan pentingnya peran pemerintah sebagai mediator yang netral untuk mencapai keadilan bagi semua pihak, terutama jika kedua belah pihak tidak mencapai kesepakatan sendiri. Dengan keterlibatan pemerintah, konflik adat dan pariwisata di Bali diharapkan dapat diselesaikan secara bijaksana dan tidak berulang di masa depan.

Melalui keterlibatan proaktif, pemerintah diharapkan tidak hanya berperan sebagai pemberi izin usaha, tetapi juga sebagai pelindung budaya lokal yang mencegah tergesernya nilai-nilai adat oleh kepentingan ekonomi semata.

Artikel ini telah tayang di detikTravel. Baca selengkapnya di sini!




(iws/iws)

Hide Ads