Jimbafest 2024 adalah gelaran pameran seni rupa dengan tema 'Crisis' dalam rangka mengkritisi keadaan dunia yang semakin mengkhawatirkan. Sebanyak 13 karya seniman dari Indonesia dan Mancanegara akan dipamerkan dalam acara di Jimba Art Hall pada tanggal 26 Oktober-26 November 2024 mendatang.
Sehubungan dengan tema yang diangkat, pameran ini tidak hanya menampilkan keindahan karya seni yang memberi nilai kepuitisan semata, akan tetapi menyikapi menyikapi Crisis dengan menampilkan gagasan pemikiran pada 'lebih bermakna sesuatu' dan memberikan penyadaran secara kritis.
Ketika diangkatnya tema 'Crisis', Founder Jimbafest, Dr. Putu Agung Prianta bertemu dengan kurator seni Yudha Bantono dan Jean Couteau. Ia ingin menempatkan kenyataan dan kebenaran hakiki sebagai sebuah kritik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Walaupun kental bernuansa provokasi sebagai sebuah praktek penyampaian, Agung Prianta seolah ingin memperkenalkan strategi baru sebagai bagian komunikasi penting yang hadir di tengah-tengah beragam konflik saat ini.
Setelah menerima sinyal dari gelagat Agung Prianta, Yudha Bantono dan Jean Couteau memilih dan mengundang karya dari 13 seniman baik dari Indonesia maupun mancanegara. Seniman-seniman dari Indonesia antara lain Made Wianta, Made Bayak, Gilang Propagila, Jango Pramartha, Wayan Upadana, dan Arkiv Vilmansa.
Sedangkan para seniman dari mancanegara yaitu Paul Trinidad, Jon Terry, Jerremy Blank, Antony Muia, Vladimir Todorovic, yang kesemuanya dari Australia, serta Stephan Spicher dari Switzerland. Ketigabelas seniman ini akan membawa gagasan sebagai bagian dari kekuatan karyanya. Nantinya karya-karya itu akan menjadi pembicaraan yang lebih luas, bahkan menjadi bagian yang dapat membangun ruang kesadaran pemirsa atau pengunjung Jimbafest, hingga menjadi aksi konkret.
"Saya yakin Jimba Art Hall akan membuka berbagai kemungkinan, menciptakan landasan kajian baru bagi wacana dan praktek berkesenian, menawarkan gagasan, dialog dan kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk lintas disipliner baik nasional maupun internasional. Dan Pameran Seni Rupa Crisis adalah sebuah cara untuk membuka mata dan hati kita semua, bahwa sekali lagi dunia kita sedang tidak baik-baik saja. Dan dari Bali kita tidak diam, tapi sedang bersuara bagi kebaikan dunia," jelas Agung dalam keterangan tertulis, Rabu (23/10/2024).
Lebih lanjut Agung Prianta mengatakan pameran ini merupakan upaya untuk melihat dan mengamati kenyataan yang sebenarnya, menggali permasalahan, dan merespon apa yang terjadi. Selain itu, juga menghadirkan dan menyuguhkan ulasan akan posisi seniman sebagai studi kasus melihat berbagai penurunan kualitas yang menjadi 'crisis' kehidupan di muka bumi ini.
Keadaan dunia yang sedang tidak baik ini terlihat dari krisis lingkungan, sosial, kebudayaan, dan kemanusiaan yang hampir saling terhubung satu dengan lainnya. Lalu, persoalan perubahan iklim yang sangat ekstrim seperti kekeringan, banjir, longsor, mencairnya es di dua kutub, dan polusi yang semakin meningkat. Serta perang, kemiskinan, kekerasan, dan merebaknya penyakit yang tidak pernah terduga ikut menjadi sorotan tajam.
Maka dari itu, karya-karya ketigabelas seniman yang terlibat dalam pameran diharapkan dapat menjadi penafsiran menarik, bukan hanya menunjukkan hasrat turut serta berselebrasi bersama dalam sebuah pameran semata. Melainkan menjadi gambaran permasalahan besar 'Crisis' yang memang sedang berkecamuk di dunia saat ini, yang secara ironis kadang tidak nampak bahkan bisa berubah-ubah wujud.
Kemudian, Agung Prianta sengaja menyiapkan tempat pameran baru yang ia namai Jimba Art Hall di Jimbaran Hub. Menurutnya, tempat pameran ini terinspirasi dari gudang-gudang tua di beberapa tempat yang pernah ia kunjungi, baik di Eropa maupun kota-kota di Asia. Hadirnya Jimba Art Hall ini sebagai ingatan baru untuk memulai dan menginisiasi seni bagi Jimbaran sebagai pusat seni baru di Pulau Bali.
Selain itu, Pameran Seni Rupa Crisis adalah upaya membangun ruang komunikasi yang nantinya akan menjadi pengingat untuk bangkit melalui tanda-tanda, dan aksi artistik yang kritis. Baik menghadirkan maupun membaurkan peristiwa sebagai sebuah pesan yang memiliki nilai atau gerakan moril. Alhasil, khalayak luas bisa memahami apa yang dilakukan seniman dalam pameran seni rupa Crisis, berarti apa yang terjadi dan tengah berubah dalam kehidupan yang serba was-was ini.
Agung Prianta juga menyoroti infrastruktur seni rupa di Bali. Menurutnya, infrastruktur seni rupa di Bali harus jeli melihat berbagai ketimpangan yang menjadikan Bali hanya sebagai tempat dari peristiwa seni, dan kebanyakan tidak berkelanjutan. Bali telah membuktikan banyak melahirkan seniman-seniman hebat. Jimba Art Hall setidaknya adalah langkah inisiasi yang telah lama ia pikirkan, terlebih dahulu membuka JHub Art Space serta aneka kegiatan seni lainnya.
Untuk itu ia mengatakan ini baru permulaan atau awal, sedangkan selebihnya pergeseran estetika seni yang melibatkan banyak kemajuan teknologi saat ini memerlukan ruang. Jimba Art Hall akan hadir bersama para seniman melalui program-program yang akan dirancang bersama board curator.
(anl/ega)