I Gusti Ngurah Rai merupakan salah satu pahlawan nasional yang terkenal. Jasanya sangat besar dalam memperjuangkan Tanah Air dari para penjajah.
Salah satu aksi heroik I Gusti Ngurah Rai ketika memimpin pertempuran Puputan Margarana. Ia berperan dalam menyusun strategi dan serangan dalam melawan Belanda.
Ingin tahu biografi I Gusti Ngurah Rai dan kisahnya heroiknya dalam melawan penjajah? Simak kisahnya dalam artikel ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Biografi I Gusti Ngurah Rai
I Gusti Ngurah Rai lahir di Desa Cilangsari, Kabupaten Badung, Bali, pada 30 Januari 1917. Nama lengkapnya adalah Brigadir Jenderal (anumerta) I Gusti Ngurah Rai.
Menariknya, tanggal kelahiran I Gusti Ngurah Rai bertepatan dengan bencana alam gempa dahsyat di Bali yang dikenal dengan sebutan gejer atau gejor. Maka dari itu, ia kerap dipanggil I Gusti Ngurah Gejor sewaktu kecil.
Mengutip laman Ensiklopedia Sejarah Indonesia Kemdikbud, I Gusti Ngurah Rai adalah seorang anak camat bernama I Gusti Ngurah Pacung. Sementara ibunya bernama I Gusti Ayu Kompyang.
Sempat Putus Sekolah
Lahir dari keluarga cukup terpandang membuat I Gusti Ngurah Rai berkesempatan mengenyam pendidikan di Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Denpasar dari 1926-1933.
Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikan di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Malang, Jawa Timur. Namun ia hanya sampai kelas dua dan akhirnya putus sekolah setelah ayahnya wafat.
Pada 1936, ia mengikuti pendidikan calon perwira Officer's Opleiding Corps Prayoda di Gianyar, Bali, selama empat tahun. Lalu ia diangkat sebagai komandan seksi di tangsi Prayoda Denpasar.
Pada 1941, I Gusti Ngurah Rai mengikuti pendidikan khusus Lucthdeel Atelerie atau jurusan senjata berat di Magelang. Kemudian ia ditugaskan menjadi perwira penghubung pertahanan Belanda untuk Jawa-Bali. Akibat serangan yang dilakukan Jepang terhadap Bali pada 1942, ia kemudian dipindahkan ke Jawa Tengah.
Perlawanan I Gusti Ngurah Rai terhadap Penjajah
Di masa penjajahan Jepang, I Gusti Ngurah Rai bekerja sebagai agen Mitsui Bussan Kaisha (MBK) untuk Bali dan Lombok. Bersama dengan teman-temannya dari Prayoda, ia melakukan gerakan bawah tanah.
Beberapa teman lainnya, seperti I Gusti Putu Wisnu dan I Gusti Wayan Debes, bergabung dengan PETA (Pembela Tanah Air) di Bali, sehingga dapat memperluas jaringan pergerakan mereka.
Setelah Jepang mengaku kalah, I Gusti Ngurah Rai dan sejumlah tokoh pemuda memutuskan untuk menyerang asrama Jepang dan merebut senjata milik mereka. Tapi sayang, rencana tersebut bocor dan alhasil tentara Jepang berhasil menangkap sejumlah pejuang.
Lalu, beberapa tokoh Bali seperti Wijaya Kusuma, Wisnu, Wayang Ledang, Cokorda Ngurah, Wayang Debes, dan I Gusti Ngurah Rai melakukan pertemuan untuk mendiskusikan rencana selanjutnya. Mereka akhirnya sepakat untuk meminta bantuan kepada Markas Besar TRI (Tentara Republik Indonesia) di Yogyakarta.
Alhasil, Cokorda Ngurah, Wayang Debes, dan I Gusti Ngurah Rai berangkat ke Yogyakarta. Sedangkan Wijaya Kusuma dan Wisnu tetap berada di Bali untuk mengorganisir gerakan perlawanan.
Ketiga tokoh Bali itu beserta sejumlah pejuang lainnya berlayar dengan perahu dari pantai Gesing menuju Banyuwangi, Jawa Timur. Setibanya di Banyuwangi pada 1 Januari 1946, mereka segera melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta dengan kereta api.
Saat sampai di Yogyakarta, rombongan I Gusti Ngurah Rai bertemu dengan sejumlah tokoh nasional lainnya, seperti Panglima Besar Jenderal Sudirman, Kepala Staf Umum Jenderal Oerip Soemohardjo, dan Presiden Soekarno.
Kemudian I Gusti Ngurah Rai ditetapkan sebagai Komandan TRI Sunda Kecil oleh Oerip Soemohardjo. Pangkatnya dinaikkan dari Mayor menjadi Letnan Kolonel. Ia juga diangkat menjadi ketua Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia (DPRI) yang membawahi semua kekuatan sosial politik dalam masyarakat.
Perjalanan I Gusti Ngurah Rai ke Jawa berhasil mendapatkan bala bantuan, mulai dari senjata hingga pasukan. Kemudian, ia dan rombongannya kembali ke Bali untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah.
Pemimpin dalam Perang Puputan Margarana
I Gusti Ngurah Rai memimpin pertempuran Puputan Margarana dan memiliki pasukan bernama Ciung Wanara. Ia dan pasukannya menyusun strategi dan serangan terhadap Belanda yang berusaha merebut Bali pasca-kemerdekaan Indonesia.
Perang Puputan Margarana dipicu dari Perjanjian Linggarjati yang digelar pada 1946. Saat itu, Belanda menjalankan taktik devide et impera terhadap wilayah-wilayah di luar, khususnya Indonesia Timur, lewat proyek Negara Indonesia Timur (NIT) yang diinisiasi oleh H.J. van Mook.
I Gusti Ngurah Rai menolak gagasan tersebut dengan tegas. Sebab, Perjanjian Linggarjati tidak memasukan Bali sebagai bagian dari Indonesia. Lalu, tujuan Belanda yang ingin menyatukan Bali dengan NIT membuatnya semakin murka.
Alhasil, I Gusti Ngurah Rai dan para pasukannya melancarkan serangan terhadap Belanda. Serangan dimulai pada 18 November 1946 dengan menyerang markas militer Belanda di Tabanan, Bali.
Serangan tersebut membuat marah Belanda. Akhirnya pada 20 November 1946, tentara Belanda melancarkan serangan terhadap pasukan I Gusti Ngurah Rai di Desa Marga, Kecamatan Margarana, Tabanan, Bali.
Namun sayang, I Gusti Ngurah Rai gugur dalam pertempuran tersebut bersama 96 pejuang lainnya. Sedikit informasi, kata 'Puputan' berarti berperang sampai titik darah penghabisan.
Atas jasa dan perjuangan I Gusti Ngurah Rai dalam membela Tanah Air, ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional lewat Surat Keputusan Presiden No.063/TK/tahun 1975 tanggal 9 Agustus 1975.
Selain itu, namanya juga diabadikan menjadi nama bandara di Bali, yaitu Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai. Kini, potretnya juga dicantumkan di uang kertas pecahan Rp 50.000.
Demikian pembahasan singkat mengenai biografi I Gusti Ngurah Rai. Semoga artikel ini dapat menambah pengetahuan detikers.
(ilf/inf)