Salah satu kebudayaan Bali yang masih dilestarikan hingga saat ini adalah Tari Sanghyang Dedari. Tari Sanghyang Dedari adalah tari tradisional asal Bali yang memiliki makna sebagai sebuah ritual untuk memohon keselamatan bagi masyarakat lokal.
Tarian ini memiliki karakteristik yang sakral karena menjadi bagian dari upacara.
Kesakralan tarian ini tercermin dalam segala aspek pertunjukan, baik bentuk pertunjukan, konteks, lokasi, waktu, penampil, serta proses keseluruhan yang dianggap sebagai bagian dari sebuah ritual upacara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bagaimana sejarah dari Tari Sanghyang Dedari yang merupakan bentuk penolakan bala ini? Simak informasi mengenai Tari Sanghyang yang dirangkum dari berbagai sumber berikut ini.
Sejarah Tari Sanghyang Dedari
Menurut sejarah, awalnya di Desa Bona, Blahbatuh, Gianyar, terdapat wabah penyakit yang melanda warga dengan cepat dan sulit diobati. Saat beberapa anak gadis bermain di sekitar Pura Puseh setelah upacara agama, mereka bernyanyi lagu sanghyang.
Salah satu gadis mulai menari mengikuti lagu tersebut dan tanpa sadar gadis tersebut menjadi kerauhan atau kemasukan. Melihat hal ini, warga memutuskan untuk mensakralkan tarian Sanghyang Dedari dengan harapan mengusir wabah penyakit dari desa mereka.
Makna Tari Sanghyang Dedari
Dilansir dari laman Pemerintah Kota Denpasar, Tari Sanghyang merupakan sebuah bentuk tarian yang memiliki nilai sakral, di mana dalam tari ini diyakini terjadi kemasukan roh dedari maupun roh binatang dengan kekuatan gaib. Tarian ini memiliki akar budaya pra-Hindu dan bertujuan sebagai upaya untuk menolak bala.
Sanghyang bukan sekadar tarian, tetapi juga merupakan sarana komunikasi spiritual antara masyarakat dengan alam gaib yang disertai dengan nyanyian pemujaan dan irama tetabuhan. Dalam penampilan tarian ini, selalu terdapat tiga unsur yakni api, gending sanghyang, dan penari.
Prosesi Pementasan Tari Sanghyang Dedari
Tari Sanghyang Dedari melibatkan lima hingga tujuh penari yang dipilih dua minggu sebelum pertunjukan. Mereka dipilih dari kalangan anak-anak yang belum dewasa karena dianggap masih suci, dengan usia sekitar 8 hingga 11 tahun.
Sebelum pertunjukan, ada serangkaian prosesi yang panjang. Tiga hari sebelum ritual Sanghyang Dedari, dilakukan upacara matur piuning untuk memohon kelancaran dalam pelaksanaan ritual.
Pada hari pertunjukan, setelah proses persiapan dan berhias dilakukan persembahyangan bersama di Pura Pejenengan. Proses penting adalah ngukup yang dilakukan di Pura Paibon sebagai permohonan agar roh Sanghyang turun ke dalam tubuh penari.
Setelah roh Sanghyang turun ke tubuh penari, Tari Sanghyang Dedari kemudian dipentaskan di dua lokasi, yakni Catus Pata dan Pura Pejenengan dengan durasi sekitar dua jam. Dalam satu rangkaian ritual, pertunjukan dapat dilakukan sebanyak 3 hingga 5 kali dalam 15 hari.
Penari Sanghyang Dedari menampilkan tarian dalam kondisi tidak sadar atau kerauhan, meskipun ada beberapa penari yang tidak mengalami kerauhan dan tidak bisa tampil dalam pertunjukan.
Prosesi terakhir setelah 15 hari adalah nyineb yang menandai pengembalian roh sanghyang. Setelah semua prosesi selesai, perlengkapan Tari Sanghyang Dedari dipindahkan ke Pura Setra Sanghyang.
Tari Sanghyang Saat Ini
Seiring berjalannya waktu, Tari Sanghyang Dedari yang seharusnya dipertunjukkan hanya dalam konteks upacara di pura, kini sering disajikan dalam konteks pariwisata di Puri Saren Agung Ubud. Hal tersebut dikarenakan Bali merupakan daerah tujuan wisata yang dapat mengembangkan daerahnya dengan visi pembangunan yang berwawasan budaya.
Artikel ini ditulis oleh Husna Putri Maharani peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(nor/nor)