Beragam Sorotan Ombudsman Seusai Kelas Layanan BPJS Kesehatan Dihapus

Round Up

Beragam Sorotan Ombudsman Seusai Kelas Layanan BPJS Kesehatan Dihapus

Ambrosius Ardin - detikBali
Rabu, 15 Mei 2024 10:01 WIB
Pimpinan Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng di Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT, Selasa (14/5/2024). (Foto:Β Ambrosius Ardin/detikBali)
Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng di Labuan Bajo, Manggarai Barat, NTT, Selasa (14/5/2024). (Foto:Β Ambrosius Ardin/detikBali)
Manggarai Barat -

Ombudsman RI menyoroti beragam hal terkait layanan BPJS Kesehatan. Hal itu menyusul setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghapus sistem kelas layanan BPJS Kesehatan. Layanan kelas 1, 2, dan 3 BPJS Kesehatan selanjutnya diganti dengan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).

Anggota Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng mengatakan kelas BPJS Kesehatan hanya untuk pembayaran iuran, tidak untuk layanan kesehatan. Dengan menerapkan KRIS, ia berujar, tak ada lagi layanan kesehatan berbasis kelas atau berdasarkan kemampuan membayar iuran.

"Kelas iuran, boleh. Jadi, orang itu jangan kemudian dilayani berdasarkan kemampuan atau berdasarkan kaya miskin. Seolah kalau kaya layanannya kelas premium," ujar Robert di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT), Selasa (14/5/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ia mengkritik layanan rumah sakit selama ini yang memprioritaskan pasien mandiri alias yang membayar biaya pengobatannya sendiri. Prioritas berikutnya pasien yang menggunakan asuransi komersial.

Pasien BPJS Kesehatan, menurut dia, berada di urutan ketiga. Namun, kadang kala rumah sakit menggunakan skala prioritas layanan pasien BPJS Kesehatan dengan melihat kelas kepesertaan yang diikuti oleh pasien bersangkutan.

ADVERTISEMENT

"Coba lihat di dalam (rumah sakit), bangsal itu isinya kelas 3 semua, nggak boleh. Semua harus mendapatkan kelas layanan yang sama, tidak boleh ada perlakuan yang berbeda," tegas Robert.

Pasien Kerap Dirujuk ke RS Swasta

Robert lantas menyoroti sebagian besar pasien peserta BPJS Kesehatan di Kabupaten Manggarai Barat, NTT, yang kerap dirujuk ke salah satu rumah sakit (RS) swasta di Labuan Bajo. Fasilitas kesehatan (faskes) tingkat pertama seperti puskesmas tak banyak merujuk pasien BPJS Kesehatan ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Komodo milik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Manggarai Barat di Labuan Bajo.

Menurut Robert, hal tersebut perlu ditelusuri. Sebab, dokter di RS swasta yang kerap menjadi rujukan juga datang dari RSUD Komodo.

"Ketika di puskesmas kemudian merujuknya ke rumah sakit (swasta) A, terus kan menjadi pertanyaan, ada apa? Kenapa nggak rujuk ke rumah sakit daerah," kata Robert.

Robert tak menyebut nama RS swasta yang selalu menjadi langganan rujukan pasien BPJS Kesehatan dari berbagai puskesmas di Manggarai Barat. Diketahui terdapat dua RS swasta di Manggarai Barat yang semuanya berada di Labuan Bajo, yakni RS Siloam dan RS Santo Yoseph.

Menurut dia, fenomena ini tidak hanya terjadi di Manggarai Barat, tetapi juga di daerah lainnya. Temuan secara nasional, ungkap Robert, pasien dirujuk ke RS tertentu karena ada pesanan kepada faskes yang memberikan rujukan.

Robert mengungkapkan ada kerja sama tidak sehat antara RS dengan faskes tingkat pertama yang memberikan rujukan. "Secara nasional, sudah ada pesanan 'kalau ada yang sakit tolong rujuk ke saya ya'," ungkap Robert.

Peserta BPJS Kesehatan Tidak Dibebankan Bayar Obat

Robert menegaskan peserta BPJS Kesehatan tidak boleh dibebankan untuk membayar obat oleh rumah sakit atau faskes lainnya. Ia juga menyoroti praktik tak terpuji RS yang sengaja menahan obat. Pasien kemudian disuruh membeli sendiri obat di luar RS.

Menurut dia, jika ada pasien BPJS Kesehatan yang disuruh membeli sendiri obat di luar RS, maka pasien tersebut harus kembali ke RS tersebut untuk meminta uang pengganti beli obat tersebut. Robert menegaskan BPJS Kesehatan sudah menanggung semua biaya perawatan di RS termasuk biaya obat.

"Ada obatnya, disampaikan obatnya habis. Disuruhlah orang untuk cari obat sendiri. Mestinya ketika dia cari obat sendiri, dia pulang (ke RS), di-reimburse (dibayar kembali). Nggak boleh dia bayar sendiri," ungkapnya.

Robert mengatakan praktik RS menahan obat dan menyuruh pasien BPJS Kesehatan beli sendiri obat sudah banyak terjadi. Kondisinya menjadi lebih buruk jika pasien disuruh membeli obat di apotek yang bukan mitra RS tersebut.

"Banyak praktik kayak gitu. Apalagi kalau apoteknya bukan apotek mitra, lebih bahaya lagi," katanya.

Robert menyarankan RS daerah harus menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BULD) sehingga lebih fleksibel dan terlepas dari pemerintah daerah (pemda). RS juga harus membangun kemitraan dengan apotek.

"Kalaupun benar obatnya habis, orang ke sana (apotek) itu karena tidak ada obat di sini (RS) tapi di apotek itu ada, tapi nanti uangnya itu harus diganti," tegas Robert.

Jangan Percaya 'Obat Tak Ditanggung BPJS'

Kepala BPJS Kesehatan Cabang Ende, Nara Grace Br Ginting menegaskan pelayanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di RS dan faskes lainnya sudah termasuk obat. Obat tersebut disediakan oleh faskes tersebut.

"Pelayanan JKN itu meliputi obat juga, penunjang, dokter dan sebagainya. Untuk kebutuhan obat disediakan oleh fasilitas kesehatan sesuai formula nasional yang sudah ditetapkan Kemenkes. Bila ada kebutuhan obat di luar formula, itu disediakan oleh rumah sakit, tergantung kebutuhan rumah sakit karena berbeda-beda, tiap daerah beda-beda kebutuhannya, tergantung penyakit," urai Grace.

Ia mengatakan jika RS menyuruh pasien membeli obat, pasien tersebut bisa menyampaikan kepada layanan pengaduan BPJS Kesehatan yang biasanya tersedia di RS. Jika pasien sudah terlanjur membeli obatnya, Grace menegaskan RS wajib mengganti biaya tersebut.

"Bila ada rumah sakit menyuruh pasien untuk beli obat, boleh disampaikan ke kami. Ada rumah sakit yang boleh menggantikan. Misalkan pasien itu tadi sudah membayar, dia beli di luar, biaya itu digantikan oleh rumah sakit," kata Grace.

Dia menjelaskan pasien tak boleh percaya dengan RS yang menyuruh pasien beli sendiri obat dengan alasan obat dimaksud di luar tanggungan BPJS Kesehatan. Sebab, pembayaran oleh BPJS Kesehatan sudah termasuk biaya obat. Lain halnya kalau pasien sendiri yang meminta obat paten tertentu.

"Harus tanyakan alasannya apa (suruh beli obat), kosongkah? Kalau dibilang di luar BPJS, itu nggak ada. Jadi kita membayar rumah sakit dalam satu paket, obatnya, dokternya, jasanya, sudah include semua," tegas Grace.

54 Ribu Warga Manggarai-Manggarai Barat Tak Terdaftar BPJS

Sebanyak 54 ribu warga di Kabupaten Manggarai dan Manggarai Barat, NTT, belum terlindungi Jaminan Kesehatan Nasional. Mereka tidak lagi terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan.

"Ada 21 ribu warga Manggarai Barat yang tidak lagi menjadi peserta aktif BPJS. Manggarai Tengah 33 ribu warga yang tidak aktif. Manggarai Timur lebih banyak lagi," ungkap Pimpinan Ombudsman RI Robert Na Endi Jaweng di Labuan Bajo, Selasa.

Khusus untuk Manggarai Barat, Robert berujar, mereka yang tidak lagi menjadi peserta aktif BPJS Kesehatan sebagiannya adalah penerima bantuan iuran (PBI) atau peserta yang iurannya dibayar oleh pemerintah melalui APBN maupun APBD. Sebagian lagi adalah peserta mandiri.

"Mereka tidak aktif (sebagai peserta BPJS Kesehatan) lagi karena sederhananya tidak aktif membayar," ujar Robert.

"Kalau penerima upah berarti perusahaan tidak membayar, perusahaan tidak tertib bayar iuran. Tapi sebagian besar adalah PBI. Iuran dibayarkan oleh pusat melalui APBN atau APBD," lanjut dia.




(iws/gsp)

Hide Ads