GUPBI Bali Minta Temuan Kasus ASF Tak Dipublikasikan Lewat Medsos

GUPBI Bali Minta Temuan Kasus ASF Tak Dipublikasikan Lewat Medsos

I Wayan Sui Suadnyana, Ni Made Lastri Karsiani Putri - detikBali
Senin, 05 Feb 2024 21:40 WIB
silhouette pig in sunset
Foto: Getty Images/iStockphoto/sakepaint
Denpasar -

Gabungan Usaha Peternakan Babi Indonesia (GUPBI) Bali meminta temuan kasus African Swine Fever (ASF) tidak dipublikasikan ke media sosial (medsos). Sebab, hal tersebut dapat menimbulkan multi tafsir di kalangan masyarakat luas.

"Hal ini bisa dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak baik untuk menekan nilai jual produksi. Ini kan tidak baik juga. Jadi, seakan-akan kesannya terjadi wabah, padahal ketemunya cuma satu kasus," kata Ketua GUPBI Bali I Ketut Hari Suyasa saat dihubungi detikBali, Senin (5/2/2024).

Diketahui satu kasus ASF ditemukan di Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Dinas Pertanian dan Pangan (Disperpa) Badung kemudian mengeluarkan surat edaran (SE) yang diteken pada 1 Februari 2024 menyikapi temuan kasus tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Suyasa sebetulnya mengapresiasi gerak cepat dan sigap dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Badung yang mengeluarkan SE setelah adanya satu temuan kasus ASF. Namun Suyasa menilai edukasi soal kasus ASF lebih efektif dilakukan melalui paruman.

"Kalau Pemerintah Badung memang terkonsentrasi ingin menyelesaikan kasus ini dan ingin mengingatkan masyarakat terkait upaya antisipasi wabah, seharusnya pemerintah turun ke masyarakat. Kan itu lebih penting," jelasnya.

ADVERTISEMENT

Suyasa kini tengah melakukan klarifikasi ke masyarakat untuk mencegah terjadinya panic selling. Pantauannya selama tiga hari belakangan, belum terjadi panic selling.

Suyasa menilai upaya turun ke masyarakat lebih baik dibandingkan dengan berpolemik di medsos. Berkaca dari kasus ASF 2019, Bali paling siap dalam menghadapi wabah sebab karena memiliki kearifan lokal, yakni desa adat atau banjar adat.

Pada 2019 Bali, tutur Suyasa, Bali mengalami pemulihan yang sangat cepat dalam menghadapi kasus ASF. Itupun diakui oleh pemerintah pusat kala itu.

"Silahkan banjar adat pukul kentongan, suruh masyarakat paruman dan kita datang untuk memberikan edukasi, kan gampang," sebutnya.

Menurutnya Suyasa, komunikasi antara dinas dengan pemerintah adat wajib terjadi, khususnya dalam penanggulangan wabah. Melalui paruman, masyarakat dapat mengetahui sumber-sumber penyebaran ASF serta protap-nya.

Nantinya, masyarakat khususnya yang tak memiliki babi akan mengetahui soal tidak bolehnya masuk secara sembarangan ke kandang babi orang lain. Selain mencegah penyebaran, hal ini juga bisa mencegah terjadinya ketersinggungan bagi masyarakat awam.

"Contoh lain terkait ASF ini menular ke manusia atau tidak. Sehingga, kalau mereka (masyarakat) tidak paham akan ada ketakutan untuk mengkonsumsi daging babi. Ini kan not fair juga, ini kan perlu diberikan pemahaman kepada masyarakat makanya edukasi ini penting," terangnya.

Sebelumnya, Kepala Bidang (Kabid) Disperpa Badung I Gde Asrama mengungkapkan satu kasus ASF ditemukan di wilayah Kecamatan Petang. Disperpa Badung kemudian meminta para pelaku peternak babi maupun masyarakat dan pembeli menerapkan langkah antisipatif melalui SE.

Langkah-langkah antisipatif itu, mulai dari menjaga sanitasi kandang dan lingkungannya; membatasi lalu lintas orang di kandang, dan peternak wajib memakai pakaian khusus yang steril/bersih. Paling utama menerapkan bio sekuriti dan segera melapor jika menemukan babi yang sakit ke petugas Pusat Kesehatan Hewan (Puskeswan).

Pembeli babi juga tidak boleh masuk kandang, mencegah kontak langsung antara babi sehat dan babi sakit. Babi yang sakit wajib dipisahkan dan ditempatkan di kandang isolasi atau kandang yang paling akhir.




(hsa/iws)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads