Panitia Bersama Festival HAM Bali Rezky Pratiwi mencontohkan salah satu kasus kekerasan berbasis gender dialami oleh mahasiswi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (Stikes) Buleleng. Kasus pelecehan seksual itu melibatkan seorang dosen di kampus tersebut.
"Kasus kekerasan berbasis gender itu masih terjadi di Bali. Kekerasan seksual di kampus, itu masih terjadi. Misalnya, kasus (pelecehan seksual terhadap mahasiswi) Stikes Buleleng. Kasus itu masih bergulir sampai sekarang," kata Rezky dalam orasinya.
Berkaca dari kasus tersebut, Rezky mendorong setiap kampus membentuk sistem perlindungan terhadap semua mahasiswa dari segala bentuk kekerasan. Menurutnya, pemerintah telah mewajibkan seluruh kampus di Indonesia mempunyai sistem atau aturan penanganan dan pencegahan kekerasan.
"Sudah ada mandat nih dari kementerian (Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi) untuk membuat aturan penanganan dan pencegahan. Yang baru ada itu di Unud (Universitas Udayana)," kata Rezky.
Rezky berharap tindak kekerasan berbasis gender di institusi pendidikan tak lagi terjadi. Ia berpendapat pengelola institusi pendidikan dapat mengambil inisiatif untuk mencegah kasus serupa terulang.
"Melalui SK Rektor kalau di kampus. Kalau di sekolah, bisa dengan peraturan kepala sekolahnya," tuturnya.
Selain isu kekerasan berbasis gender, Festival HAM Bali 2023 juga menyoroti minimnya infrastruktur publik yang ramah disabilitas hingga isu diskriminasi terhadap masyarakat minoritas dan marginal. Acara yang puncaknya pada 10 Desember mendatang itu juga dirangkai dengan diskusi publik, workshop, musik, dan seni.
(iws/gsp)