Menelusuri Kehidupan Suku Aborigin Masa Lampau dengan Teknologi Imersif

Menelusuri Kehidupan Suku Aborigin Masa Lampau dengan Teknologi Imersif

Aryo Mahendro - detikBali
Senin, 30 Okt 2023 19:52 WIB
Pameran seni visual bertajuk Walking Through A SonglineΒ yang menggunakanΒ teknologi imersif menampilkan kehidupan suku Aborigin di masa lampau di Discovery Mall, Kuta, Badung, Bali, Senin (30/10/2023). (Aryo Mahendro/detikBali)
Pameran seni visual bertajuk Walking Through A SonglineΒ yang menggunakanΒ teknologi imersif menampilkan kehidupan suku Aborigin di masa lampau di Discovery Mall, Kuta, Badung, Bali, Senin (30/10/2023). (Aryo Mahendro/detikBali)
Badung -

Konsulat Jenderal Australia di Bali dan Nusra membuka pameran seni visual bertajuk Walking Through A Songline di Discovery Mall, Kuta, Badung, Bali, Senin (30/10/2023). Pameran yang dikuratori oleh Museum Nasional Australia ini menampilkan kehidupan spiritual penduduk asli Australia atau suku Aborigin sejak 4.000 tahun silam.

Pameran seni visual tersebut menggunakan teknologi imersif, yakni teknologi visual yang memberikan sensasi gabungan antara alam nyata dan virtual. Pamerannya sendiri memanfaatkan ruang khusus berupa tenda tertutup berukuran 8x6x2,5 meter.

Pengunjung dapat menikmati pertunjukan seni visual imersif yang diulang setiap tujuh menit. Selama itu pula, visualisasi proyektor akan menampilkan gambar bergerak tentang perjalanan sejarah dan fantasi orang-orang Aborigin di masa lampau. Ada juga beberapa gambar tentang alam Australia pada zaman primitif yang ditampilkan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ishaq Zamruddin, pengajar dari Madrasah Ibtidaiyah Karakter Mutiara Bunda Bali mengaku baru kali pertama mengunjungi pameran seni dengan teknologi imersif. Menurutnya, model pameran seni atau museum semacam itu sangat penting untuk pendidikan sejarah dan bahasa asing bagi anak didiknya.

"Di sini kami bisa melihat bagaimana penduduk asli Australia pertama kali datang. Lalu, seiring perkembangan waktu, mereka membentuk koloni dan sebagainya," kata Ishaq.

ADVERTISEMENT

Ada juga Zahra Ratusita, seorang siswi dari SMA Muhammadiyah 1 Denpasar. Dia mengaku terpukau dengan pameran seni atau museum yang menggunakan teknologi imersif itu. Ia pun terkesan dengan tata suara di dalam ruangan tenda tertutup tersebut.

"Jujur, saya belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya. Suara-suaranya sangat nyata sekali, bikin merinding," kata Zahra.

Konsul-Jenderal Australia di Bali Nusra Jo Stevens menuturkan pameran tersebut bertujuan untuk memperkenalkan budaya asli Australia kepada publik di Bali. Selain itu, pameran tersebut juga menyasar turis Australia yang ingin mengenal lebih dekat budaya asli di negaranya.

"Target kami adalah anak-anak muda yang sudah tidak asing dengan teknologi seni imersif. Kami juga ingin mengajak generasi muda untuk menyatu dengan seni," kata Stevens.

Steven menyebut Bali sebagai pusat budaya sehingga tepat menjadi lokasi penyelenggaraan pameran tersebut. Selain itu, kata dia, ada ikatan seni yang kuat antara masyarakat Bali dengan turis asal Australia yang menjadikan Pulau Dewata sebagai destinasi wisata favorit sejak lama.

"Jadi, saya pikir cocok sekali jika pameran ini digelar di sini. Sebelumnya, kami sudah menggelar pameran serupa di Jakarta, Surabaya, dan Makassar," kata Stevens.

Halaman selanjutnya: Pemprov Bali Bakal Terapkan Teknologi Imersif di Museum...

Pemprov Bali Bakal Terapkan Teknologi Imersif di Museum

Kepala Dinas Kebudayaan Bali I Gede Arya Sugiartha melontarkan ide tentang penggunaan teknologi imersif di museum. Menurutnya, penggunaan teknologi imersif akan mendongkrak angka kunjungan ke museum hingga 200 persen.

"Bali rencana akan bikin (teknologi imersif di museum). Saya sudah merencanakan. Museum Bali, nanti satu ruangan akan pakai imersif. Tapi masih rencana," kata Sugiartha saat menghadiri pembukaan pameran bertajuk Walking Through A Songline di Discovery Mall, Kuta, Senin.

Sugiartha belum dapat memastikan kapan akan menggunakan teknologi tersebut. Menurutnya, teknologi imersif menggunakan peralatan yang cukup mahal.

Dia mencontohkan, diorama yang menampilkan sejarah dengan menggunakan teknologi imersif memerlukan ruang khusus dan kamera proyektor di setiap sisi dindingnya. Karenanya, perlu kajian lebih lanjut tentang penggunaan teknologi tersebut di Museum Bali.

"Kamera (proyektornya) ada yang dari bawah, samping, dan atas. Nah, kalau yang full (imersif penuh) itu (kameranya) di atas, bawah, dan dinding itu semua," jelas Sugiartha.

Menurutnya, penggunaan teknologi tersebut dalam hal tata kelola memajang benda bersejarah di museum, sudah menjadi tren kekinian. Memajang benda bersejarah dengan hanya meletakkan di kotak kaca atau diorama biasa, sudah dianggap membosankan.

"Karena memang perkembangan tata kelola museum itu harus seperti ini. Kalau nggak seperti ini, secara pemajangan begitu-begitu saja, sudah out of date ya," tandasnya.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video: Terpana dengan Karya Anak-anak di Pameran Kids Biennale 2025"
[Gambas:Video 20detik]
(iws/nor)

Hide Ads