Laporan Khusus 21 Tahun Bom Bali I

Melihat ke Depan: Cerita Inspiratif Para Penyintas Pasca-Bom Bali 2002

Rizki Setyo Samudero, I Wayan Sui Suadnyana - detikBali
Kamis, 12 Okt 2023 18:53 WIB
Ni Luh Erniati. (Foto: Rizki Setyo Samudero/detikBali)
Denpasar -

Tragedi Bom Bali yang mengguncang dunia pada 12 Oktober 2002 masih meninggalkan luka yang dalam di hati banyak orang. 21 tahun telah berlalu, perjalanan pemulihan mereka yang selamat masih terus berlanjut.

Ni Luh Erniati, seorang ibu tunggal, mengalami cobaan yang tak terbayangkan ketika suaminya, Gede Badrawan, menjadi salah satu korban tewas dalam serangan tersebut. Perempuan 52 tahun itu harus menghadapi kenyataan pahit dan tanggung jawab besar untuk menghidupi dua anak kecilnya, Putu Agus Eriawan Kusuma dan Made Bagus Arya Dana. Situasi ekonomi keluarga yang terdesak mendorong Erni untuk mencari solusi, dan pada akhirnya, dia memutuskan untuk belajar menjahit.

Kisah ini bermula saat suaminya, yang saat itu bertugas sebagai kepala pelayan di Sari Club, Legian, menjalani harinya seperti biasa. Saat itu malam minggu, Sabtu, 12 Oktober 2002.

Badrawan pergi kerja. Erni dan dua anaknya menunggu di kos. Putra pertama mereka, Agus Eriawan, kala itu masih berusia 9 tahun, sementara yang kedua, Bagus Arya, masih berusia 1 tahun 5 bulan.

Tengah malam, Erni mendengar desas-desus tetangga kos. Erni penasaran, lantas keluar. Mereka bilang, ada ledakan. Erni berpikir, itu mungkin hanya kebakaran di kawasan Kuta.

"Karena nggak kepikiran sama sekali bahwa di Bali bisa terjadi bom, kita semua tahun kan Bali itu aman saat itu," ujar Erni saat ditemui detikBali di kediamannya daerah Sesetan Denpasar Selatan, Denpasar, Sabtu (7/10/2023).

Namun, hingga pukul dua dini hari, Badrawan tak kunjung pulang. Biasanya jam segitu, suaminya sudah pulang. Paling lama jam empat dini hari, jika suaminya singgah ke pasar untuk membeli keperluan.

Rasa penasaran Erni membangkitkannya dari tidur. Dia mendengar kabar, ada ledakan di depan kelab malam tempat suaminya bekerja. Benar saja, suaminya hilang.

Empat bulan berlalu, Erni mendengar kabar bahwa suaminya teridentifikasi. Badrawan tewas dalam tragedi itu. Hanya 70 persen tubuhnya yang bisa dikenali.

Setelah tragedi itu, hari-hari Erni dan dua anaknya lebih banyak dirundung duka. Anak keduanya, yang masih sangat belia, selalu menangis, memeluknya. Putra pertama yang awalnya periang, berubah menjadi pemurung. Hari-hari terasa berat bagi Erni.

Namun, Erni harus bangkit. Kini, masa depan kedua anaknya dipertaruhkan. Lama terbenam pada kesedihan, atau bangkit ke depan?

Erni kemudian belajar dan merintis usaha jahitan kecil-kecilan. Dengan tekad dan kerja kerasnya, dia akhirnya berhasil membuka usaha penjahitan kecil.

Dia belajar menjahit di kampungnya di Singaraja. Dia memilih pulang ke sana, waktu itu, untuk memulihkan trauma akibat tragedi itu.

Setelah kembali ke Denpasar, ia ditawari oleh warga negara asing asal Australia untuk dibiayai tempat tinggal selama satu tahun.

"Sampai sekarang saya masih menjalani usaha kecil saya yang bisa mengantar anak-anak sudah selesai kuliah. Bahkan yang pertama sudah kerja juga," terang Ernie sambil tersenyum.

Baca kisah lainnya di halaman selanjutnya...



Simak Video "Video: Suasana Haru di Peringatan 23 Tahun Bom Bali"


(dpw/iws)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork