Beragam Cara Korban Bom Bali Pulih dari Trauma

Laporan Khusus 21 Tahun Bom Bali I

Beragam Cara Korban Bom Bali Pulih dari Trauma

I Wayan Sui Suadnyana-Rizki Setyo-Agus Eka - detikBali
Kamis, 12 Okt 2023 14:03 WIB
Kisah Erni, istri korban Bom Bali 1 di Sari Club.
Kisah Erni, istri korban Bom Bali 1 di Sari Club. Foto: Rizki Setyo Samudero/detikBali
Badung -

Perlu waktu dua tahun bagi Jatmiko Bambang Supeno bolak-balik dari rumahnya di Panjer, Denpasar Selatan, ke Universitas Udayana (Unud), Denpasar Barat, Denpasar, Bali. Pria asal Kabupaten Malang, Jawa Timur, itu mendapatkan pendampingan psikologis dua kali sebulan untuk bisa melawan trauma akibat Bom Bali I yang terjadi pada 12 Oktober 2002.

Pemulihan trauma yang dijalani oleh Bambang difasilitasi oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). "Kurang lebih ada dua tahun saya (menjalani pendampingan psikologis)," tutur pria berusia 57 tahun itu kepada detikBali, di Denpasar, Minggu (8/10/2023).

Seingat Bambang, dia mendapatkan pendampingan psikologis pada tahap akhir. Sebab, dirinya baru bergabung bersama komunitas penyintas tragedi tersebut pada 2012.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bambang dibekali buku hijau oleh LPSK selama menjalani pendampingan psikologis. Buku itu digunakan sebagai penilaian oleh psikolog mengenai kondisinya sebagai penyintas Bom Bali.

Jatmiko sendiri merupakan bartender di Sari Club, Legian, Badung, Bali, saat bom meledak di kelab itu Sabtu malam, 12 Oktober 2022. Beruntung dia selamat dari ledakan dan berhasil kabur dari kelab yang luluh lantak tersebut.

ADVERTISEMENT

Selama menjalani pemulihan trauma, Jatmiko mendapatkan saran dari psikolog untuk bisa melupakan peristiwa tersebut. Psikolog terus mengingatkannya untuk terus melanjutkan kehidupan.

"Psikolog minta saya sabar dan cari kesibukan untuk melupakannya (tragedi bom)," tutur Jatmiko.

Sejumlah perubahan dirasakan oleh Bambang setelah mendapatkan pendampingan psikologis dari Fakultas Kedokteran (FK) Unud. Dia mulai bisa menonton TV meski masih kerap menangis ketika bercerita saat Bom Bali I terjadi.

LPSK menyetop pemulihan trauma Bambang setelah lembaga itu mendapatkan rekomendasi dari psikolog FK Unud. Sebab, trauma Bambang dan kesehatan mentalnya berangsur-angsur pulih.

Bambang menyadari jika ia tak bisa seluruhnya melupakan peristiwa Bom Bali I, meski tragedi itu telah berlalu 21 tahun. Terkadang, ia masih merasa bersalah jika mengingat teman kerjanya di Sari Club, Magik.

Sebelum bom meledak, Bambang meminta anak buahnya tersebut membantu di depan kelab. "Kalau tanpa perintah saya, dia nggak akan mati," sesal ayah empat anak tersebut jika membicarakan peristiwa Bom Bali I.

Istri korban bertemu adik Amrozi, dalang Bom Bali I. Selengkapnya klik halaman berikutnya

Melawan Trauma, Bertemu Adik Amrozi

Ni Luh Erniati juga berupaya bangkit dari kehilangan suaminya, Gede Badrawan. Kepala Pelayan di Sari Club itu meninggal akibat ledakan bom pada 12 Oktober 2002.

Erni -sapaan Ni Luh Erniati- tak pernah membayangkan bisa menjadi seorang janda dua anak. Namun, dia berjanji pada dirinya sendiri mampu membesarkan anak-anaknya.

Erni akhirnya memutuskan untuk kembali lagi ke Denpasar. Setelah suaminya dinyatakan meninggal, ia sempat pulang kampung ke Singaraja, Bali.

Erni dibantu oleh warga Australia. "Saya juga belajar menjahit sama teman-teman dan saya harus bekerja untuk bisa hidup bertiga," tuturnya.

Erni berupaya melawan trauma dengan pergi konseling ke psikiater. Dia juga meminum obat untuk memulihkan kesehatan mentalnya. Hal itu dilakukannya bertahun-tahun.

"Nggak boleh lah terus-terusan seperti itu (sedih) karena bagaimana pun juga kami harus berpikir masa depan dan saya harus tetap bekerja memikirkan masa depan," ungkap Erni.

Bahkan, Erni sempat bertemu dengan Ali Fauzi, adik dari pelaku Bom Bali Amrozi. Adik Amrozi itu juga pernah menjadi teroris dengan bergabung di Jamaah Islamiyah (JI) Jawa Timur dan melatih orang untuk merakit bom. Pertemuan itu difasilitasi oleh Aliansi Indonesia Damai.

"Memang ada rasa marah gitu, kok (Ali Fauzi) nggak merasa bersalah," tutur Erni.

Erni kemudian duduk bareng dengan Ali Fauzi. Mereka saling tukar cerita tentang pengalamannya.

Erni menceritakan pengalamannya sebagai korban Bom Bali I. Ali terpukul mendengar cerita tersebut dan menyadari kekeliruannya.

"Beliau (Ali Fauzi) benar-benar minta maaf dan kami sepakat untuk bersama-sama menjaga perdamaian," tutur Erni.

Bahkan, Erni sempat bertemu dengan narapidana teroris (napiter) lainnya. Ibu dua anak ini kemudian menyampaikan dampak buruk dari terorisme pada napiter.

"Jadi semakin banyak saya bercerita, semakin ringan beban dalam pikiran," papar Erni. "Saya lakukan itu sebagai salah satu terapi untuk psikologis saya."

Pendampingan psikologis dan kompensasi untuk korban baca di halaman berikutnya.

Bertukar Cerita-Berdoa demi Pulih dari Trauma

Thiolina F. Marpaung, satu dari sekian banyak korban yang berhasil selamat dari Bom Bali I. Sama seperti penyintas lainnya, trauma masih terus membayanginya.

Lina -sapaan Thiolina- yakin betul, trauma yang dialaminya akibat ledakan bom di depan Sari Club itu juga dirasakan sebagian besar korban selamat. Bagaimana pun, harus ada upaya dari diri mereka untuk lepas dari trauma yang membelenggu.

"Saat beberapa kali kami bertemu, saya melihat, kalau dibilang sehat-sehat saja secara fisik, saya lihat ya sehat, tapi kalau secara mental, saya kurang tahu. Banyak yang menginginkan agar pendampingan kesehatan mental mereka terus berlanjut menandakan memang trauma itu belum sepenuhnya sembuh," ungkap Thiolina, Senin (9/10/2023).

Lina sebenarnya tak mau mengingat lagi peristiwa kelam 21 tahun lalu itu. Selain bikin trauma, tragedi itu juga membuat mata kirinya cacat nyaris buta karena serpihan kaca. Bahkan, dia sempat dioperasi di Australia untuk mengobati matanya tersebut.

Ketua Yayasan Isana Dewata (Ikatan suami istri dan anak korban Bom Bali 1), Thiolina Marpaung. (Istimewa)Ketua Yayasan Isana Dewata Thiolina Marpaung. (Istimewa) Foto: Ketua Yayasan Isana Dewata (Ikatan suami istri dan anak korban Bom Bali 1), Thiolina Marpaung. (Istimewa)

Bersama pada korban lain, Lina membentuk Yayasan Istri Suami Anak (Isana) Dewata. Yayasan ini yang kemudian bergerak untuk mengadvokasi hak-hak para korban Bom Bali.

Melalui yayasan ini, mereka saling bertukar cerita. Tujuan utama mereka agar semuanya bisa lepas dari belenggu trauma. Anggota Isana Dewata kini lebih dari 50 orang.

Lewat Isana Dewata, pemerintah menggelontorkan bantuan, baik dari segi ekonomi, maupun pendampingan psikologis untuk para korban.

Lina menjelaskan LPSK sudah memberikan kompensasi kepada para korban bom Bali. LPSK juga memberikan program pemulihan trauma bagi para korban Bom Bali sejak 2008.

Para korban yang belum tersentuh pendampingan psikologi, diarahkan untuk ikut program pemulihan jiwa yang difasilitasi LPSK. Yayasan mengajukan perpanjangan setiap enam bulan agar program itu dapat dinikmati para korban seumur hidup hingga pulih.

"Jadi kami tetap mengarahkan teman-teman yang masih membutuhkan bantuan untuk pemulihan trauma mereka, di psikiater. Tidak boleh berhenti sampai dinyatakan pulih maupun sembuh bagi korban yang sampai saat ini tetap memanfaatkan layanan pengobatan dan kesehatan lain itu," bener Lina.

Menurut Lina, kehidupan para korban Bom Bali cukup memprihatinkan. Meski, sudah lama berlalu, dampak dari bom itu membekas sampai sekarang hingga mengakibatkan kehidupan mereka terkoyak.

Masalah ekonomi mempersulit korban untuk 100 persen pulih dari trauma. "Masalah ekonomi, terutama saat pandemi COVID-19, akhirnya menjadi pemicu dan mengakibatkan mental mereka setidaknya terguncang lagi," ungkap Lina.

Keputusasaan itu pula yang membuat sejumlah korban memilih hanya fokus mencari mata pencaharian demi bertahan hidup. Sedangkan program ke psikiater terabaikan. Padahal, pendampingan kesehatan mental sangat penting untuk mempercepat pemulihan trauma.

"Sebab belum tentu kita bisa tahu bahwa mental kita sudah pulih. Yang bisa melihatnya psikiater," tutur Lina.

Selain pendampingan kesehatan jiwa, para korban Bom Bali juga masih mendapat layanan kesehatan fisik. Ada sekitar delapan orang yang masih rutin jalani pemeriksaan ke dokter dalam waktu tertentu, termasuk Lina yang masih menjalani pemeriksaan mata tiap dua bulan.

Isana Dewata juga mengadakan berbagai kegiatan yang berkaitan dengan pemulihan trauma. Salah satunya menggelar doa perdamaian atau kegiatan kerohanian. Kegiatan ini pula yang digelar setiap tahun saat peringatan tragedi Bom Bali, setiap 12 Oktober.

"Dalam program doa itu, kami mengundang guru spiritual untuk memberikan siraman rohani agar menjadi lebih kuat," tutur penyiar di salah satu radio di Bali tersebut.

Lina meyakini keikhlasan menjadi salah satu cara meringankan trauma. Penyembuhan trauma juga perlu dukungan dari banyak pihak.

Lina berharap para korban Bom Bali yang selamat mentalnya bisa kuat. Hal itu demi bisa membiayai hidup keluarganya.

Bagaimanapun, bagi Lina, denyut nadi harus tetap berdetak. Masa depan masih panjang. Sembuh dari luka butuh proses. Salah satu penawar yang dipakai adalah sintas di jalan doa.

Halaman 2 dari 3


Simak Video "Video: Eks Napiter Umar Patek Buka Bisnis Kopi, Penyintas Bom Bali Protes"
[Gambas:Video 20detik]
(dpw/gsp)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads