Tragedi Bom Bali yang mengguncang dunia pada 12 Oktober 2002 masih meninggalkan luka yang dalam di hati banyak orang. 21 tahun telah berlalu, perjalanan pemulihan mereka yang selamat masih terus berlanjut.
Ni Luh Erniati, seorang ibu tunggal, mengalami cobaan yang tak terbayangkan ketika suaminya, Gede Badrawan, menjadi salah satu korban tewas dalam serangan tersebut. Perempuan 52 tahun itu harus menghadapi kenyataan pahit dan tanggung jawab besar untuk menghidupi dua anak kecilnya, Putu Agus Eriawan Kusuma dan Made Bagus Arya Dana. Situasi ekonomi keluarga yang terdesak mendorong Erni untuk mencari solusi, dan pada akhirnya, dia memutuskan untuk belajar menjahit.
Kisah ini bermula saat suaminya, yang saat itu bertugas sebagai kepala pelayan di Sari Club, Legian, menjalani harinya seperti biasa. Saat itu malam minggu, Sabtu, 12 Oktober 2002.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Badrawan pergi kerja. Erni dan dua anaknya menunggu di kos. Putra pertama mereka, Agus Eriawan, kala itu masih berusia 9 tahun, sementara yang kedua, Bagus Arya, masih berusia 1 tahun 5 bulan.
Tengah malam, Erni mendengar desas-desus tetangga kos. Erni penasaran, lantas keluar. Mereka bilang, ada ledakan. Erni berpikir, itu mungkin hanya kebakaran di kawasan Kuta.
"Karena nggak kepikiran sama sekali bahwa di Bali bisa terjadi bom, kita semua tahun kan Bali itu aman saat itu," ujar Erni saat ditemui detikBali di kediamannya daerah Sesetan Denpasar Selatan, Denpasar, Sabtu (7/10/2023).
Namun, hingga pukul dua dini hari, Badrawan tak kunjung pulang. Biasanya jam segitu, suaminya sudah pulang. Paling lama jam empat dini hari, jika suaminya singgah ke pasar untuk membeli keperluan.
Rasa penasaran Erni membangkitkannya dari tidur. Dia mendengar kabar, ada ledakan di depan kelab malam tempat suaminya bekerja. Benar saja, suaminya hilang.
Empat bulan berlalu, Erni mendengar kabar bahwa suaminya teridentifikasi. Badrawan tewas dalam tragedi itu. Hanya 70 persen tubuhnya yang bisa dikenali.
Setelah tragedi itu, hari-hari Erni dan dua anaknya lebih banyak dirundung duka. Anak keduanya, yang masih sangat belia, selalu menangis, memeluknya. Putra pertama yang awalnya periang, berubah menjadi pemurung. Hari-hari terasa berat bagi Erni.
Namun, Erni harus bangkit. Kini, masa depan kedua anaknya dipertaruhkan. Lama terbenam pada kesedihan, atau bangkit ke depan?
Erni kemudian belajar dan merintis usaha jahitan kecil-kecilan. Dengan tekad dan kerja kerasnya, dia akhirnya berhasil membuka usaha penjahitan kecil.
Dia belajar menjahit di kampungnya di Singaraja. Dia memilih pulang ke sana, waktu itu, untuk memulihkan trauma akibat tragedi itu.
Setelah kembali ke Denpasar, ia ditawari oleh warga negara asing asal Australia untuk dibiayai tempat tinggal selama satu tahun.
"Sampai sekarang saya masih menjalani usaha kecil saya yang bisa mengantar anak-anak sudah selesai kuliah. Bahkan yang pertama sudah kerja juga," terang Ernie sambil tersenyum.
Baca kisah lainnya di halaman selanjutnya...
Menjahit Masa Depan
Jatmiko Bambang Supeno, seorang penyintas lainnya, juga menghadapi perjuangan yang serupa. Serangan Bom Bali meninggalkan bekas luka dalam dirinya, dan dia mengalami perubahan pekerjaan yang berulang kali dalam usahanya untuk melepaskan diri dari trauma.
Kejadian itu secara otomatis menghilangkan pekerjaan Bambang sebagai asisten manajer yang merangkap bartender di Sari Club. Ia pun tak punya banyak tabungan ketika itu.
Bambang mesti terus menghidupi istri dan tiga anaknya kala itu di tengah kondisi pariwisata Bali yang nyaris mati pasca-tragedi Bom Bali I dan tidak mempunyai pekerjaan. Terlebih istri Bambang memang sedari awal tidak bekerja.
Suatu ketika Bambang berinisiatif untuk mencoba usaha dengan berjualan nasi kuning. Usaha itu dijalankan di depan tempat tinggalnya di Jalan Waturenggong, Kota Denpasar.
![]() |
Usaha yang dilakoni itu tak jua membawa ia dan keluarganya beranjak dari jurang kesulitan karena modal yang pas-pasan. "Ya jualan sih, tapi ya sulit karena modal pas-pasan juga," ucapnya.
Bambang dan keluarganya masih terus mencoba bertahan di tengah kesulitan yang ada. Air mata pria itu kembali menetes ketika menceritakan kisahnya yang sempat tidak mempunyai beras sehingga terpaksa memberi makan istri dan anaknya berupa nasi aking.
Saat itu tak ada uang yang cukup untuk membeli beras. Di tengah kondisi itu ia juga tidak berani meminjam uang kepada saudaranya. Tiba-tiba ada tawaran berupa nasi aking dari adiknya yang tinggal di Kuta. Nasi itu sejatinya untuk pakan ayam.
Bambang kemudian mengambil nasi aking itu ke tempat tinggal adiknya di Kuta. Ia lalu memasak nasi yang sudah kering itu dan dimakan bersama istri dan anak-anaknya.
Saat makan, anaknya bertanya nasi yang dimakan tidak sebagaimana biasanya. Bambang pun merasakan begitu sakit hatinya terhadap sulitnya keadaan kehidupannya waktu itu.
"Nasi kan pasti beda rasanya. Kok nasinya gini. Itu tuh sudah kasih ke anak itu kasihan sekali. Segitunya susah hidup dulu," kisah Bambang.
"Tapi memang perlu waktu untuk bisa makan kenyang. Itu perlu waktu lama itu. Jadi kesulitannya kadang-kadang gitu, pas enggak punya beras, ngeri kalau pas kami susah itu, ngeri sekali," ujarnya lirih.
Bambang tak selalu bercerita kepada keluarganya yang lain meski hidup dalam kesulitan. Ia mengaku malu merepotkan keluarga yang lain karena sudah tua dan berkeluarga. Di sisi lain, mencari duit pinjaman untuk bertahan hidup juga sulit.
"Kami mau bilang keluarga juga malu. Karena kami anggapannya sudah tua lah. Minta bantuan kan malu. Ya kami berusaha bertahan lah. Kalau mau minjam uang ke mana, minjam juga sulit. Enggak gampang lah nyari pinjaman," ungkapnya.
Kehidupan Bambang mulai beranjak membaik setelah mendapatkan pekerjaan di Kelurahan Seminyak pada 2003. Selepas dari Santa Fe, ia juga sempat bekerja di sebuah restoran di Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan.
Bambang terakhir kali bekerja di sebuah rumah makan Malang di bilangan Kuta sejak 2015. Ia mesti dirumahkan dari rumah makan itu akibat pandemi COVID-19. Ia kemudian memilih menjadi driver ojek online dan menekuni usaha jahit.
"Kerja di sana terakhir terus Corona itu dirumahkan itu. Terus ngojek ini. Jadi saya ngojek itu sudah tiga tahun lebih mungkin. Dari Corona ngojek sampai sekarang," tuturnya.
Selepas dirumahkan itu, Bambang tidak berniat lagi untuk bekerja di kelab maupun restoran. Minat itu luntur seiring dengan usianya yang kian terus bertambah.
"Sudah tua gini kerja apa coba di hotel. Saya itu basic saya bartender. Kalah sama yang muda muda, endak diterima umur saya. Saya sudah 57, kelahiran 66 saya. Ngojek saja yang penting sehat," kata dia.
Selain menjadi driver ojek online, Bambang pun kini menjalani usahanya berupa jahit berbagai jenis pakaian. Ayah empat anak itu mulai fokus mengerjakan usahanya setelah dirumahkan akibat pandemi COVID-19.
"Pas di rumahkan itu dah fokus jahit sambil Gojek. Dulu waktu masih kerja di Kuta ya masih tak tinggal masih enggak fokus. Kalau sekarang harus sampai selesai. Dateng kerja jahit," ucapnya.
Bambang juga kerap beristirahat siang di sela-selanya narik sebagai ojol di tempat usaha jahitnya di Jalan Raya Pemogan, Gang Rajawali. Saat detikBali menyambangi tempat itu, terdapat dua mesin jahit dan mesin obras.
Usaha jahit yang dijalani Bambang bekerja sama dengan penyitaan korban Bom Bali lainnya bernama Ni Luh Erniati. Mereka menjalani usaha jahit itu dengan mendapatkan pesanan dari Australia.
Pesanan dari Negeri Kanguru itu didapatkan oleh Erni. Erni kemudian memotong kain. Hasil potongannya itu lalu diberikan kepada Bambang untuk dijahit. Order-an dibayar beragam tergantung jenisnya, mulai dari Rp 25 ribu, Rp 30 ribu hingga Rp 50 ribu per lembar.
Bambang menjalankan usaha jahitnya itu dengan dua orang penjahit lainnya dengan dua mesin. Ia sangat berharap sekali bisa membeli satu mesin jahit tambahan agar usahanya itu bisa berjalan lebih lancar.
"Sekarang ingin mesin jahit lagi satu. Jadi pas nunggu obrasan kan jahit dulu, saya obras kan harus nunggu jahitan dulu. Tapi kalau kami mau jahit mesin enggak ada. Kalau mesinnya tiga, ada saya satu pakek, saya jahit barengan, nanti kami obras. Sebetulnya kurang mesin jahit satu," ungkapnya.
Meski sudah berprofesi sebagai ojek online dan mempunyai usaha jahit, Bambang masih berniat untuk membuka usaha makanan secara online. Ia juga sudah mempunyai beberapa perlengkapan guna memenuhi keinginan itu.
Simak Video "Video: Eks Napiter Umar Patek Buka Bisnis Kopi, Penyintas Bom Bali Protes"
[Gambas:Video 20detik]
(dpw/iws)