"Kalau tanpa perintah saya, dia nggak akan mati," kenang Jatmiko Bambang Supeno di tengah obrolan dengan detikBali, akhir pekan lalu.
Rasa bersalah itu yang masih menghantui Bambang, meski tragedi Bom Bali I telah berlalu 21 tahun. Malam itu, Sabtu, 12 Oktober 2002, Bambang memerintahkan salah satu anak buahnya, Mugik untuk melayani tamu dari bar depan di Sari Club, Legian.
"Gik, tolong bantu di (bar) depan," perintahnya.
Itu adalah perintah terakhir yang disampaikan Bambang kepada Mugik. Setelah itu, mereka sibuk melayani tamu yang membeludak. Setiap malam minggu, pub atau kelab malam itu memang selalu ramai oleh wisatawan lokal maupun mancanegara yang hendak menikmati gemerlap kehidupan malam di Bali.
Beranjak tengah malam, sebuah bom meledak tepat di depan kelab malam itu. Bangunan kelab luluh lantak. Mugik tewas.
Bambang yang malam itu bertugas sebagai bartender di bar tengah, berhasil selamat. Akibat ledakan itu, badannya tertindih reruntuhan. Kepala berdarah karena tertancap pecahan kaca.
Saat itu, yang ada dalam pikirannya adalah bagaimana untuk selamat. Kepanikan menyeruak dari segala penjuru. Ada bom meledak!
Dia bergegas ke lantai dua kelab. Sikut-sikutan dengan pegawai dan pengunjung lain yang juga ingin selamat. Api akibat ledakan, malah mengepung kelab itu.
Bambang tak punya pilihan lain. Dia melompat dari lantai dua ke atap rumah warga dengan tenaga tersisa. Lompatan berhasil.
Dia kemudian menyusuri lorong, ingin mengambil sepeda motor yang terparkir di depan. Hendak pulang.
Tiba di sana, motornya sudah hancur, terdindih pula. Suasana di depan kelab horor. Banyak mayat bergelimangan. Bambang risau. Dia ingat anak buahnya, Mugik. Apakah Mugik tewas? Ya!
21 tahun berlalu, tragedi mengenaskan itu masih menyayat hati Bambang. Rasa bersalah terus mengikutinya. Jika saja saat itu dia tak memerintahkan Mugik ke bar depan, pemuda baik itu mungkin masih hidup.
"Saya merasa bersalah. Kalau nggak saya yang nyuruh, mungkin Mugik masih hidup," tutur Bambang. Bibirnya bergetar, air matanya meleleh.
Bambang adalah salah satu dari sekian banyak korban selamat Bom Bali I yang masih dirundung trauma. Banyak dari mereka yang harus menjalani serangkaian terapi untuk pulih dari trauma.
Sering Bambang menangis setelah melihat tayangan televisi yang berisi kekerasan hingga kecelakaan. Hatinya gampang rapuh akan cerita-cerita sedih.
"Saya kalau melihat orang atau cerita orang sedih itu nangis, nggak kuat. Ya, kendala di situ. Jadi emosi lihat TV yang model kekerasan nangis, enggak kuat lihat," akunya.
"Ya terus terang kalau saya lihat orang sedih saya enggak bakal kuat. Cerita sedih enggak kuat saya. Apapun itu, kekerasan rumah tangga kalau saya ngelihat itu langsung kebawa dah. Merasa kasihan terus nangis akhirnya," imbuhnya.
Ada korban yang takut lihat ransel. Baca kisahnya di halaman selanjutnya...
Simak Video "Video: Suasana Haru di Peringatan 23 Tahun Bom Bali"
(dpw/hsa)