Putra bungsu Presiden Joko Widodo (Jokowi) Kaesang Pangarep resmi menakhodai Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Keberadaan Kaesang dianggap sebagai sumber daya baru bagi PSI terutama dalam rangka menyongsong Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Kendati demikian, Pengamat Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram Ihsan Hamid melihat keberadaan Kaesang tidak serta-merta akan membuat PSI menjadi mudah untuk melenggang ke Senayan.
Dosen Ilmu Politik UIN Mataram itu melihat setidaknya ada sejumlah faktor yang menyebabkan PSI masih akan tertatih-tatih untuk menembus ambang batas parlemen atau parliamentary threshold 4 persen.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alasan pertama, barometer utama lolos atau tidaknya sebuah parpol ke Senayan bergantung pada sejauh mana kualitas para calon anggota legislatif (caleg) yang dimiliki oleh satu partai. Saat ini, kata Ihsan, tahapan pileg sudah hampir mendekati akhir pendaftaran.
Pada pertengahan Oktober 2023, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah akan merilis Daftar Calon Tetap (DCT) Pileg 2024.
"PSI ini bukan merupakan parpol yang punya kursi di parlemen. Untuk masuk ke parlemen, jika Kaesang tidak mampu mengubah daftar caleg, tidak ada nama populer yang masuk, maka akan cukup berat. Jika masuknya Kaesang tidak diikuti oleh gerbong nama beken, maka akan susah mendongkrak nama PSI untuk masuk parlemen," kata Ihsan, Selasa (26/9/2023).
Ihsan menggarisbawahi, untuk masuk ke parlemen bukanlah perkara mudah. Apalagi jika PSI tidak mampu mengamankan kursi di sejumlah dapil gemuk semisal di Pulau Jawa, Sumatera, dan Sulawesi.
"Kalau ukuran kesuksesannya masuk parlemen atau tidak, publik mesti menunggu apakah ada perubahan komposisi bacaleg DPR dari PSI. Apakah ada nama mentereng yang masuk di last minute ini," paparnya.
Lebih jauh, pria kelahiran Lombok Timur itu beranggapan masuknya Kaesang menjadi Ketum PSI menandakan adanya fenomena bahwa kaderisasi di internal PSI tidak berjalan baik. Ihsan juga mengungkap adanya istilah 'selebritas politik'.
"Kenapa? Karena biasanya untuk menjadi ketum partai ada proses kaderisasi berjenjang yang mesti diikuti. Tetapi Kaesang baru saja menjadi kader dan langsung mendapatkan privilege menjadi ketum," paparnya.
"Kecenderungan parpol enggan mengambil kader militan menjadi ketum. Yang hanya modal popularitas atau talent scouting. Ditariknya Kaesang menjadi Ketum PSI lebih karena faktor selebritas yang dimiliki Kaesang dan tentunya anak seorang presiden," sambungnya.
Namun, di lain sisi, Ihsan mengaku parpol memang dituntut mempunyai figur sentral untuk menjadi perhatian publik dan mengerek elektabilitas. Jika alasannya demikian, maka Ihsan beranggapan Kaesang memenuhi kriteria itu.
"Parpol dituntut memiliki figur sentral yang bisa menarik perhatian publik. Saya kira Kaesang memenuhi unsur itu," ungkapnya.
Nilai lebih yang dimiliki Kaesang sebagai anak kandung Presiden Jokowi tentu tidak bisa dipandang sebelah mata. Ihsan yakin, bergabungnya Kaesang ke PSI sudah mendapatkan restu dari Presiden Jokowi yang notabene merupakan kader PDIP.
"Tapi sekali lagi, dari kajian ilmu politik fenomena ini tentu menandakan tidak berjalannya proses demokratisasi di tubuh PSI. Iklim yang kurang baik dalam penguatan internal," terang Ihsan.
(dpw/dpw)