Mutswiso dan Harraki, 2 Tentara Jepang Latih Pejuang Badung Hadapi NICA

Mutswiso dan Harraki, 2 Tentara Jepang Latih Pejuang Badung Hadapi NICA

Agus Eka Purna Negara - detikBali
Kamis, 17 Agu 2023 21:41 WIB
Harraki serta monumen perjuangan Rakyat Penarungan.
Foto: Harraki serta monumen perjuangan Rakyat Penarungan. (Agus Eka/detikBali)
Badung -

Masyarakat Desa Penarungan, Kecamatan Mengwi, Badung, tidak akan pernah lupa bagaimana para leluhur mereka dengan gigih memperjuangkan kemerdekaan dari penjajahan selama beratus-ratus tahun. Tercatat ada ratusan pejuang yang merupakan warga sipil terlatih untuk bertempur melawan Netherland Indies Civil Administration atau (NICA).

Proses perjuangan itu rupanya menyisakan cerita yang belum banyak diketahui. Seperti keterlibatan dua tentara Jepang yang menyerah setelah kalah dari sekutu. Lalu membantu para pejuang di Penarungan dalam menyusun kekuatan membantu pasukan I Gusti Ngurah Rai di Marga, Tabanan.

Perbekel Penarungan Ni Wayan Kerni menceritakan dua tentara Jepang yang membantu para pejuang tersebut bernama Mutswiso dan Harraki. Dua tentara itu diangkat oleh Ketua Bala Pejuang Markas W (War) di Penarungan bernama Ketut Receh yang juga Kepala Desa Penarungan yang pertama.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kala itu, Ketut Receh mendapat informasi dari warga Banjar Umopoh Penarungan yang melihat ada dua tentara Jepang terlihat kebingungan di salah satu pondok warga sambil menunjukkan bendera putih tanda menyerah. Karena itu, salah satu pejuang yang bertugas sebagai intel berani mendekat dan mengajak dua tentara Jepang itu bersama pasukan.

Mutswiso dan Harraki serta monumen perjuangan Rakyat Penarungan. (Agus Eka/detikBali)Mutswiso dan Harraki serta monumen perjuangan Rakyat Penarungan. (Agus Eka/detikBali) Foto: Mutswiso dan Harraki serta monumen perjuangan Rakyat Penarungan. (Agus Eka/detikBali)

"Dari cerita keluarga Bapak Ketut Receh inilah, dua tentara Jepang ini (Mutswiso dan Harraki) diangkat menjadi anak angkat dan diminta untuk bergabung bersama para pejuang di Penarungan. Mereka membantu menyiapkan kekuatan pasukan," jelas Kerni, Kamis (17/8/2023).

Karena ditemukan bertepatan pada hari Jumat (Sukra-dalam bahasa Bali), Ketut Receh pun menyematkan nama Bali kepada Mutswiso (I Wayan Sukra) dan Harraki (I Made Sukri). Setelah itulah, dua orang Jepang ini diplot untuk membantu menyusun kekuatan para pejuang di Penarungan dan sekitarnya.

Dalam prosesnya, pejuang yang datang dari berbagai daerah dilatih di wilayah Blumbungan, Desa Sibang, Badung. Selain melatih, Mutswiso dan Harraki juga ditugaskan melengkapi persenjataan pejuang di Desa Baha, wilayah Kecamatan Mengwi.

Pada November 1946, para pejuang Bali di Markas W I pun diperintahkan untuk membantu batalion yang dipimpin Letnan Kolonel I Gusti Ngurah Rai, yang berkedudukan di Marga, Tabanan.

Saat itu, Mutswiso dan Harraki berbagi tugas untuk menyiapkan persenjataan dan pasukan dari Markas W yang dikomandoi I Ketut Receh. Namun nahas, keberadaan Mutswiso pun diketahui tentara NICA dan ia gugur sebelum dapat membantu Ngurah Rai.

Sementara, Harraki dalam perjalanan menuju Marga berhasil menemui pasukan Ngurah Rai. Namun, dalam pertempuran November 1946 itu, Harraki turut gugur bersama ratusan pejuang lainnya di Marga.

"Dahulu saat beliau menyerah dan diangkat menjadi anak angkat, sempat berpesan kepada Pak Ketut Receh untuk diupacarai secara Hindu jika nanti gugur dalam pertempuran. Permintaan itu pun diamini," ungkap Kerni.

Saat perabuan dua tentara Jepang ini, abu jenazah disemayamkan di sebuah bangunan monumen yang dahulu berdiri di simpang empat Desa Penarungan. Namun pada 2005, monumen dipindahkan jadi satu dengan pusat pemerintah Desa Penarungan sampai sekarang.

Kerni melanjutkan, selama diangkat oleh Ketut Receh, dua tentara Jepang ini belum pernah bertemu keluarga Receh lantaran harus fokus di markas pejuang hingga keduanya gugur.

"Dua tokoh ini diangkat menjadi tentara di negaranya, masih bujang dan ditugaskan ke tanah air," sambungnya.

Meski belum pernah pulang ke negaranya sampai gugur di Bali, warga yang masih punya hubungan darah dengan Mutswiso dan Harraki Jepang rutin datang ke Indonesia dan berkunjung ke monumen tiap 10 November.

"Kami juga setiap 16 dan 17 Agustus rutin gelar acara peringatan di monumen. Terutama pada 16 Agustus terkait malam renungan. Kami ingin perjuangan para pahlawan kami tetap terus dikenang masyarakat kami. Bahwa desa ini pernah punya sejarah yang luar biasa terhadap proses kemerdekaan negara kita," terangnya.

Selain monumen, terdapat beberapa gua tempat persembunyian pejuang Penarungan yang masih tersisa hingga kini. Gua itu terletak di sebelah barat desa dan menjadi beberapa bukti sejarah adanya jejak perjuangan kemerdekaan di Penarungan. Gua ini masih terawat hingga sekarang.




(hsa/hsa)

Hide Ads