Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengungkap kasus kekerasan seksual di Indonesia semakin meningkat. LPSK mencatat 70 persen korban kekerasan seksual kenal dengan pelaku.
"70 persen korban kenal dengan pelakunya, mulai dari ayah kandung, paman, kakek, kakak, keluarga, dosen, pejabat negara," ungkap Wakil Ketua LPSK Livia Istania DF Iskandar, di Kuta, Badung, Bali, Kamis (25/5/2023).
Catatan LPSK, kasus kekerasan seksual terhadap anak pada 2021 sebanyak 426 dan 2022 sebanyak 536. Sementara, kasus kekerasan seksual pada orang dewasa di 2021 sebanyak 60 dan 2022 sebanyak 99.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belakangan, LPSK menyoroti banyaknya kasus kekerasan seksual terjadi di sekolah berbasis asrama maupun yang berbasis agama. Kasus kekerasan seksual di sekolah berbasis asrama agama paling banyak terjadi di Jawa Barat.
"Tetapi yang paling banyak masuk minta perlindungan ke LPSK itu di Jawa Timur," katanya.
Livia juga menambahkan untuk rentang umur kasus kekerasan seksual anak-anak perempuan lebih banyak jumlahnya,. Tetapi anak laki-laki juga banyak, khususnya di sekolah berbasis agama.
"Sekitar 80 persen adalah perempuan dan 75 persen adalah anak-anak kalau dilihat dari terlindung LPSK," ungkap Livia.
Hal ini menjadi catatan LPSK bahwa dalam pengusutan kasus tersebut di bawah dua kementerian yang berbeda yakni Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama.
Livia menyebut Kementerian Pendidikan sekarang sudah ada Permendikbud. Sayangnya, Permendikbud itu belum mencakup semua tingkat jenjang pendidikan karena baru di Perguruan Tinggi (PT) saja. Hal inilah yang menjadikan perhatian LPSK.
Sementara di Kementerian Agama, Livia mengaku belum memastikan ada dan tidaknya peraturan yang mengatur tindak pidana kekerasan seksual.
"Apa yang harus dilakukan tetapi masih banyak yang terjadi dan bagaimana kemudianLPSK bisa membantu memberikan perlindungan kepada si korban/pelapor, karena banyak yang merasa takut bahkan dipecat. Seperti kasus pencabulan di Jatim di mana yang melapor kasus tersebut, justru dipecat,"ungkapnya.
Karena itu, menurutnya perlu sinergitas lembaga terkait dalam hal pemenuhan tindak pidana. Ia mengaku kerap berdiskusi dengan Deputi Kemenkopolhukam soal sulitnya melakukan proses hukum apapun yang terkait kasus kekerasan seksual.
Karena itu, kata dia, penguatan psikologis sangat penting khususnya peran tenaga medis untuk memastikan saksi pelaku dan ahli agar korban bisa memberikan keterangan dengan aman dan nyaman.
Sebagai contoh, korban pencabulan atau kekerasan seksual bisa diperiksa oleh aparat penegak hukum (APH) selama 7 jam lamanya. Hal tersebut tentu tidak bagus bagi kondisi psikologis korban.
Pelaku Kekerasan Seksual di Bali Minim Bayar Restitusi
Livia mengungkap pelaku tindak pidana kekerasan seksual (TPKS) di Bali yang memberikan restitusi (uang ganti rugi) pada korban masih minim.
"Jaksanya sudah masuk (restitusi) dalam tuntutan, hakimnya sudah memasukan, tetapi masih sedikit pelaku yang mau membayar," ungkap Livia.
Dari catatanLPSK, khusus di Pulau Bali untuk yang mengajukan pembayaran kompensasi didominasi korban kasus terorisme dan diganti rugi oleh negara.
Pada 2021, LPSK mencatat permohonan perlindungan saksi dan korban tindak pidana teroris (Tipiter) sebanyak 129 kasus sedangkan TPKS sebanyak 12. Pada 2022, permohonan perlindungan saksi dan korban Tipiter sebanyak 126 kasus, dan TPKS 7 kasus.
"Tahun 2023 ini memang yang terbanyak juga terorisme (14), untuk TPKS (5) jadi belum terlalu banyak," pungkasnya.
(nor/gsp)