Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali masih membahas pedoman awig-awig tentang Dudukan dan Pararem. MDA berjanji akan mensosialisasikan pedoman tersebut setelah pembahasan selesai.
Pararem adalah keputusan paruman desa adat sebagai pelaksana awig-awig. Sedangkan Dudukan adalah semacam kontribusi atau pungutan.
"(Awig-awig tentang Dudukan dan Pararemnya) sedang diproses. Soal dudukan sedang kami bahas dan pastinya akan diketahui oleh semua (warga desa adat)," kata Ketua MDA Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet kepada wartawan, Jumat (5/5/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sukahet mengakui bahwa saat ini belum semua desa adat mendaftarkan awig-awignya ke Dinas Pemajuan Desa Adat. Meski demikian, dirinya memastikan jika pedomannya sudah ditentukan, semua desa adat wajib menyusun dan menetapkan Pararem untuk Dudukan dan didaftarkan.
Tujuannya, desa adat akan mendapat pemasukan dari Dudukan secara legal dan transparan. Selain itu, diharapkan tiap desa adat memberlakukan Dudukan dengan nominal yang tidak memberatkan warga asli, terutama pendatang.
"(Nominal Dudukannya) yang logis sajalah. Nanti akan kami verifikasi (nominal Dudukannya) oleh majelis desa adat dan dinas pemajuan desa adat. Kalau nominalnya tidak masuk akal, ya kami panggil," tegasnya.
Ditanya pertimbangan berapa nominal Dudukan yang ideal, Sukahet tidak memberi jawaban pasti. Yang jelas, harus sesuai adat dan nominalnya wajib disosialisasikan kepada seluruh warga di desa adat terutama pendatang.
"Supaya tercipta kerukunan. Karena warga pendatang itu juga menikmati keamanan, kenyamanan, dan kedamaian untuk beraktivitas dan mencari penghidupan," tuturnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Ombudsman tidak mempermasalahkan soal Dudukan yang memang sudah diakui secara hukum dan konstitusi negara. Hanya, penetapan besaran nominal dudukan dan awig-awig hendaknya melibatkan banyak pihak.
Termasuk, melibatkan masyarakat pendatang di tiap desa adat. Sebab, masih banyak pendatang yang tidak terlalu memahami konteks desa adat dalam kebudayaan Bali.
(efr/nor)