Deretan kafe di Desa Delod Berawah, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana, Bali, yang disulap menjadi tempat hiburan malam diduga tak mengantongi izin. Bahkan, tidak memiliki sumbangsih terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Dari pantauan detikBali, Selasa (21/2/2023), keberadaan kafe di pinggir pantai Desa Delod Berawah itu sudah mulai buka setelah sempat tutup karena pandemi COVID-19. Di siang hari, kafe berjajar layaknya warung kelontong.
Namun, ketika hari mulai gelap, lampu warna-warni dan suara bising dari pengeras suara (speaker) pemutar musik mulai menggelegar mengganggu ketenangan warga sekitar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak cuma itu, keributan dari perkelahian juga kerap terjadi. Terbaru, kasus penganiayaan pegawai kafe oleh pengunjung yang merupakan sopir bupati Jembrana. Dalam kasus itu, si sopir sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Kepala Dinas Penanaman Modal, Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan Tenaga Kerja Made Gede Budhiarta mengaku tidak bisa banyak membantu karena pengecekan perizinan harus menyertakan nama pemilik usaha, mengingat pengurusan izin dilakukan melalui OSS.
Sementara, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Jembrana I Komang Wiasa membenarkan keberadaan kafe di Desa Delod Berawah tidak memberikan manfaat dari sisi PAD yang masuk karena dikelola oleh desa adat.
"Kafe-kafe di Delod Berawah tidak menyumbang PAD. Itu (pendapatan) semua dikelola oleh desa adat," terang dia.
Adapun, pendapatn dari Desa Delod Berawah hanya berasal dari kolam renang air laut yang ada di sebelah timur Setra Delod Berawah. "Cuma itu saja retribusi yang masuk ke daerah," katanya.
Disinggung mengenai penjualan minuman beralkohol yang dijual di setiap kafe, ia mengaku pemerintah kabupaten tak berhak memungut pajak.
Sebab, pajak minuman beralkohol merupakan kewenangan pusat. "Itu kewenangan di atas (pusat), jadi bukan ranah kami," imbuhnya.
Kepala Desa Delod Berawah I Made Rentana menambahkan pengelolaan kafe yang ada di wilayahnya seluruhnya dikelola oleh desa adat. Tak heran, tidak ada retribusi yang masuk ke desa dinas.
Bendesa Adat Delod Berawah I Wayan Gel Gel menyebutkan setiap bulan pengelola kafe dipungut sebesar Rp 200 ribu. Pungutan desa adat itu merupakan hasil dari keputusan desa adat dalam bentuk perarem.
"Sebelum pandemi itu ada sekitar 20 lebih kafe aktif, namun saat ini hanya tersisa 12 kafe," paparnya.
Selain kafe, perarem desa adat juga menarik pungutan ke penginapan dan kedai yang ada di wilayah desa adat. "Kalau penginapan per bulan sebesar Rp 100 ribu. Jumlahnya itu ada belasan penginapan," tandas Gel Gel.
(BIR/iws)