Kepolisian Daerah (Polda) Bali mengakui bahwa izin tinggal terbatas menjadi kendala dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap warga negara asing (WNA). Kendala ini sebelumnya diungkapkan oleh Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Bali.
"Sangat betul sekali. Karena terkait dengan mereka tinggal ini kan sementara. Dia liburan misalnya tiga hari (atau) empat hari tentunya kami mengalami kesulitan manakala mengumpulkan alat bukti atau pun pemeriksaan. Dibutuhkan penanganan yang cepat terhadap mereka," kata Kasubdit IV PPA Ditreskrimum Polda Bali AKBP Ni Luh Kompiang Srinadi kepada detikBali, Rabu (8/2/2023).
Menurut Srinadi, polisi tidak bisa melakukan pencekalan kepada pelaku WNA sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Karena itu, polisi kerap harus berkejaran dengan waktu untuk mengumpulkan berbagai alat bukti.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Makanya itulah waktu yang ada sebelum mereka kembali itu, maksimal alat-alat bukti yang ada sudah kita dapatkan untuk bisa melakukan penangkapan penahanan terhadap pelaku. (Kalau alat bukti memang belum cukup), kita akan berkoordinasi dengan kepolisian di negara setempat melalui Hubinter," jelasnya.
Srinadi mengakui beberapa kasus pelecehan seksual terhadap WNA harus dihentikan dengan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Sebuah kasus diterbitkan SP3 bila tidak ditemukan alat bukti yang cukup.
"Manakala alat buktinya tidak cukup, tidak terpenuhi, kami tidak bisa melakukan proses hukum lebih lanjut. Sementara yang ada di kami ada beberapa yang masih lanjut, ada yang memang dihentikan karena alat buktinya tidak mencukupi," ungkap Srinadi.
Kendati begitu, Srinadi membantah bahwa SP3 kasus pelecehan seksual terhadap WNA dikarenakan terkendala masa izin tinggal yang terbatas. Menurutnya SP3 diterbitkan karena memang tidak ada alat bukti seperti visum yang tidak menunjukkan bukti adanya pelecehan seksual.
"Kalau itu (masa izin tinggal WNA terbatas) tidak (menjadi penyebab SP3). Kendalanya memang hasil visum dan masih tidak menunjukkan bukti dia mengalami pelecehan," ujarnya.
Srinadi belum bisa mengungkapkan berapa jumlah kasus pelecehan seksual terhadap WNA pada akhirnya diterbitkan SP3. Guna mendapatkan angka tersebut, Srinadi mengaku perlu memilih karena kasusnya berada di seluruh Bali.
"Endak bisa saya jelaskan ya, karena kita kan kasusnya juga se-Bali dan juga tidak semuanya melibatkan warga negara asing," tegasnya.
Bantah Stigma terhadap Korban Pelecehan Seksual
Di sisi lain, Srinadi membantah anggapan bahwa penyidik sering memberikan stigma terhadap korban pelecehan seksual WNA karena sering berpakaian seksi. Sebab, hal tersebut memang sebagai budaya masyarakat bersangkutan.
"Kami tidak memberikan stigma yang seperti itu. Karena kami di PPA sudah diberikan pelatihan untuk sensitif gender. Bukan itu yang kita lihat, tetapi apa yang dialami dan kondisi apa, trauma apa yang dialami oleh korban. Jadi bukan melihat dari fisiknya," terang Srinadi.
Sebelumnya, LBH APIK Bali menangani lima kasus kekerasan seksual yang menimpa warga negara asing (WNA) di Pulau Dewata sepanjang tiga tahun terakhir. Para pelaku kekerasan seksual itu ialah warga Indonesia.
Ketua LBH APIK Bali Ni Luh Putu Nilawati menuturkan beberapa kasus itu tak bisa lanjut hingga putusan pengadilan. "Ada yang SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) terutama di beberapa Polres karena visa tinggal habis dan (korban) pulang ke negaranya," kata Nilawati, Selasa (7/2/2023).
Anggota Komisi Paripurna Komnas Perempuan Theresia Sri Endras Iswarini menambahkan penanganan kasus kekerasan seksual yang korbannya WNA seringkali terkendala bahasa. Kondisi itu diperparah dengan adanya stigma buruk bagi korban kekerasan seksual tersebut karena pakaiannya dianggap seksi.
"Stigma buruk juga WNA bule itu dianggap mengundang (pelaku kekerasan seksual) dengan pakaian-pakaian seksi," Iswarini.
(iws/BIR)