Beragam Hambatan Penanganan Pelecehan Seksual WNA

Round Up

Beragam Hambatan Penanganan Pelecehan Seksual WNA

tim detikBali - detikBali
Rabu, 08 Feb 2023 07:57 WIB
ilustrasi
Ilustrasi pelecehan seksual. Foto: Edi Wahyono
Bali - Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Bali mengungkapkan beberapa kendala penanganan kasus kekerasan seksual terhadap warga negara asing (WNA) di Pulau Dewata. Berikut rangkumannya.

Ketua LBH Apik Bali Ni Luh Putu Nilawati mengatakan telah menangani lima kasus kekerasan seksual WNA oleh warga Indonesia selama tiga tahun terakhir.Kekerasan seksual yang dialami WNA pun beragam, salah satunya dilecehkan saat menggunakan ojek online.

Namun, beberapa kasus tidak berlanjut hingga putusan pengadilan. "Ada yang SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) terutama di beberapa Polres karena visa tinggal habis dan (korban) pulang ke negaranya," kata Nilawati, Selasa (7/2/2023).

Visa WNA Terbatas

Menurut Nilawati, salah satu kendala penegakan hukum kasus kekerasan seksual pada orang asing adalah visa tinggal. Korban harus menjalani beberapa kali panggilan polisi untuk memberikan keterangan atau klarifikasi, padahal visa tinggal mereka terbatas.

"Dengan visa tinggal yang sudah habis tentu mereka sudah kembali ke negaranya," ungkap Nilawati.

Korban Trauma dan Depresi

Selain visa tinggal, kendala penanganan kasus kekerasan seksual adalah kondisi korban yang mengalami gangguan psikologis seperti trauma dan depresi. Kondisi itu membuat korban enggan datang memenuhi pemeriksaan polisi.

"Jadi dengan demikian bagaimana mungkin polisi bisa melanjutkan case-nya, otomatis kasus ditutup," tuturnya.

Namun, kini polisi bisa melakukan pemeriksaan untuk meminta keterangan atau klarifikasi tanpa mendatangkan korban. Caranya dengan telekonferensi atau panggilan video (video call). Hal itu mengacu pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Kendala Bahasa

Anggota Komisi Paripurna Komnas Perempuan Theresia Sri Endras Iswarini mengungkapkan kendala penanganan kasus kekerasan seksual pada WNA tidak hanya masalah visa dan kondisi mental korban. Karena melibatkan orang asing, maka penanganannya seringkali terkendala bahasa.

Stigma Buruk ke Korban Pelecehan

Iswarini juga menilai aparat penegak hukum (APH) masih kerap memberi stigma buruk terhadap korban kekerasan seksual. Tak jarang, perempuan justru disalahkan dan kondisi itu bisa berkontribusi pada meningkatnya kasus kekerasan seksual.

Menurutnya, stigma buruk APH kepada korban kekerasan seksual juga dapat memengaruhi seluruh proses hukum hingga putusan pengadilan. "Seringkali APH itu punya perspektif stigma (buruk) pada korban dan tidak berpihak pada korban," ujarnya.

Kondisi itu diperparah dengan stigma buruk terhadap pakaian korban yang dianggap seksi. "Stigma buruk juga WNA bule itu dianggap mengundang (pelaku kekerasan seksual) dengan pakaian-pakaian seksi," ucap Iswarini.

Senada dengan itu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) juga mengatakan korban kekerasan seksual sering disalahkan atas pakaian yang dipakai. Padahal, stigma buruk itu keliru karena kekerasan seksual bisa terjadi di sekolah asrama, termasuk yang siswanya berpakaian tertutup.

"Itu kan kalau (sekolah) yang berbasis agama itu pakaian kan tertutup dari atas sampai bawah. Jadi masalahnya bukan di pakaian," tutur Wakil Ketua LPSK Livia Istania Iskandar.

Polisi Lemah Tangani Kasus Korban Disabilitas

Iswarini berpendapat polisi juga lemah dalam menangani kasus kekerasan seksual yang korbannya penyandang disabilitas mental. Namun, ia tidak merinci bentuk kelemahan polisi dalam menangani kasus itu.

Adapun Livia menilai pelaku kekerasan seksual memanfaatkan kelemahan korbannya yang memiliki disabilitas, seperti pada korban kekerasan seksual yang bisu dan tuli. "Karena mereka bisu dan tuli tidak bisa berteriak minta tolong, lalu diperkosa beramai-ramai, misalnya," ujarnya.


(irb/gsp)

Hide Ads