Komnas Perempuan Nilai Mental Korban Kekerasan Seksual Sering Terabaikan

Denpasar

Komnas Perempuan Nilai Mental Korban Kekerasan Seksual Sering Terabaikan

I Wayan Sui Suadnyana - detikBali
Selasa, 07 Feb 2023 22:35 WIB
Poster
Ilustrasi korban kekerasan seksual. Foto: Edi Wahyono
Denpasar -

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai aparat penegak hukum (APH) seringkali mengabaikan kesehatan mental korban dalam proses penegakan hukum kasus kekerasan seksual.

Anggota Komisi Paripurna Komnas Perempuan Theresia Sri Endras Iswarini mengatakan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) hingga Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) beberapa kali melakukan rapat koordinasi mengenai kekerasan seksual.

"Nah (koordinasi) ini juga melihat bahwa isu tentang mereka yang berhadapan atau punya masalah mental seringkali luput untuk dipikirkan," kata Rini saat pelatihan penanganan korban kekerasan seksual dan kesehatan mental kepada polisi di Denpasar, Selasa (7/2/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Rini, pelatihan ini bagian untuk memperkuat aparat kepolisian agar tidak melakukan stigma pada mereka yang punya masalah mental. Sebab, masalah mental harus dilakukan diagnosis terlebih dahulu.

"Diagnosa ketika ditegakkan, harus dihormati oleh para pihak. Artinya kalau diagnosa sudah ditegakkan dan memang ada yang namanya masalah mental, harus ada treatment berbeda bagi mereka dengan tidak mengabaikan ada kasus. Ini yang perlu diperkuat," tuturnya.

Ketua Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Bali Ni Luh Putu Nilawati mengatakan polisi belum banyak mengetahui bahwa terdapat jaringan yang bisa diajak bekerja sama dalam penanganan kekerasan seksual. Jaringan ini seperti LPSK dan sebagainya.

Menurutnya, polisi harus sudah melibatkan jaringan kerja untuk penanganan kekerasan seksual sejak adanya laporan. Sebab, selama ini jaringan baru terlibat ketika kasus sudah berada di tingkat kejaksaan atau pengadilan.

"Kadang-kadang LPSK itu baru dilibatkan setelah kasusnya masuk pengadilan di kejaksaan. Teman-teman polisi belum sepenuhnya menerapkan itu," tuturnya.

Karena itu, Nilawati menilai butuh peradilan terpadu dalam penanganan perkara kekerasan seksual. Penanganan psikologis juga harus dilakukan bersamaan dan tidak harus menunggu keputusan hakim.

"Berarti peradilan yang dibutuhkan dalam kekerasan seksual itu adalah peradilan pidana terpadu. Jadi secara paralel. Baru mulai kasus, penanganan kesehatannya baik fisik maupun psikologis bersamaan, tidak menunggu putusan hakim," tegasnya.




(irb/bir)

Hide Ads