Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar menggelar demonstrasi berupa aksi tunggal pada Senin (5/12/2022) di depan monumen Bajra Sandhi, Jalan Raya Puputan No 142 Denpasar, Bali.
Aksi tersebut digelar sebagai wujud penolakan AJI kepada 17 pasal bermasalah yang mengancam kebebasan pers. Pasal-pasal tersebut tercantum dalam draft Rancangan Undang-undang KHUP (RKUHP) versi 4 Juli 2022.
"Pasal-pasal ini tentunya akan mempengaruhi kerja jurnalis dan yang kami tekankan di sini adalah tentang kritik yang di mana ini akan bisa juga digunakan untuk membungkam kami sebagai jurnalis," kata Ketua AJI Denpasar, Eviera Paramitha Sandi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, sebagai jurnalis, selama ini pihaknya selalu mengedepankan kritik bagi kepentingan publik. Namun, dengan adanya 17 pasal tersebut, kata Eviera, kritik-kritik tersebut berpotensi dapat terganggu.
Adapun pasal-pasal yang dirinya maksud, di antaranya Pasal 188 yang mengatur tentang tindak pidana penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Pasal 218, Pasal 219 dan Pasal 220 yang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.
Kemudian, Pasal 240 dan Pasal 241 yang mengatur tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara. Pasal 263 yang mengatur tindak pidana penyiaran atau penyebarluasan berita atau pemberitahuan bohong.
Lalu, Pasal 264 yang mengatur tindak pindana kepada setiap orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berlebih-lebihan, atau yang tidak lengkap. Pasal 280 yang mengatur tentang gangguan dan penyesatan proses peradilan.
Kemudian, Pasal 302 (berubah menjadi Pasal 300), Pasal 303 (berubah menjadi Pasal 301) dan Pasal 304 (berubah menjadi (Pasal 302) yang memuat tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan.
Pasal 351 (berubah menjadi 347) dan Pasal 352 (berubah menjadi Pasal 348) yang mengatur tentang penghinaan terhadap kekuasaan Umum dan Lembaga Negara telah dihapus, namun masih ada Pasal 240 yang mengatuh pernghinaan terhadap pemerintah.
Lalu, Pasal 440 (berubah menjadi Pasal 436) yang mengatur tindak pidana penghinaan ringan, Pasal 437 (berubah menjadi Pasal 433) mengatur tindak pidana pencemaran.
Pasal 443 (berubah menjadi Pasal 439) mengatur tindak pidana pencemaran orang mati, Pasal 598 (berubah menjadi Pasal 594) dan Pasal 599 (berubah menjadi Pasal 595) mengatur tindak pidana penerbitan dan pencetakan.
"Berkaca pada kenyataan tersebut, sejatinya Pemerintah Joko Widodo dan Ma'ruf Amin dan DPR RI di bawah Puan Maharani tidak aspiratif terhadap tuntutan publik. Apabila Jokowi, Ma'ruf, dan DPR RI di bawah Puan Maharani mengesahkan RKUHP ini, maka sejatinya mereka telah mewariskan UU seperti yang dilakukan pemerintah kolonial terdahulu. Terkhusus lagi, Jokowi dan Ma'ruf dan DPR di bawah Puan Maharani, serta partai-partai yang duduk di DPR RI menjadi musuh pers," ucapnya.
Menurutnya, berangkat dari hal tersebutlah, pihaknya menyatakan sikap dan tuntutannya dengan melalui 3 poin.
"Menolak RKUHP yang dibuat pemerintah dan sedang dibahas DPR RI, menuntut pemerintah Jokowi-Ma'ruf menolak atau menarik kembali RKUHP dan menuntut DPR RI menghentikan pembahasan dan pengesahan RKUHP," sebut Eviera.
Dari pantauan detikBali di lokasi, demontrasi berupa aksi tunggal tersebut dimulai kurang lebih pada pukul 10.30 Wita. Salah seorang perwakilan AJI tampak mengenakan pakaian serba berwarna putih yang kemudian pada bagian bajunya dituliskan 'Tolak Pasal Bermasalah RKUHP'.
Selain itu, pada bagian tubuh dan kamen/sarung diberikan coretan-coretan serta pada bagian rambutnya diberikan pewarna. Kemudian, pada bagian bibirnya diberikan lakban dengan membentuk X sebagai perwujudan dirinya dibungkam.
Dirinya pun turut membawa sebuah kertas yang bertuliskan 'Tolak Pasal Bermasalah RKUHP'. Kemudian, ia pun mulai berdiri di depan kawasan monumen Bajra Sandhi.
Namun, aksi tersebut sempat dihentikan dan diminta untuk meninggalkan lokasi tersebut oleh Satpol PP Denpasar karena dianggap tak berizin untuk melakukan aksi tersebut.
"Bukan diusir, tapi karena terkait izin dan sebenarnya kami sudah ada izin. Sayangnya ada beberapa birokrasi yang akhirnya membuat kami tidak bisa melakukannya di tempat publik," kata Eviera.
Aksi tersebut akhirnya dilakukan di kawasan seberang jalan monumen Bajra Sandhi selama kurang lebih 15 menit.
(hsa/dpra)