Di Bali, keris dibuat oleh pandai besi atau orang yang berasal dari golongan Pande. Golongan masyarakat di Bali ini memiliki keahlian membuat keris secara turun-temurun. Meski begitu, belum tentu semua orang dari soroh Pande berkecimpung sebagai pembuat keris.
Pande Ketut Margita (54) dari Banjar Pande, Desa Gubug, Kecamatan Tabanan, merupakan salah satu soroh Pande yang sudah 22 tahun berkecimpung di dunia pembuatan keris. Baginya, membuat keris bukanlah pekerjaan yang bernilai ekonomi. Ia membuat keris sebagai wujud bakti terhadap leluhur.
"Buat saya, membuat keris itu lebih kepada ngayah (melakukan pekerjaan tanpa upah karena bakti) kepada leluhur," tutur Pande Ketut Margita, Sabtu (5/11/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Margita, tak semua pandai besi bergelut dengan dunia pembuatan keris. Ada pula pandai besi yang memilih membuat perkakas seperti pisau, golok, dan kapak. Atau, alat-alat pertanian seperti cangkul atau sabit. Selain itu, membuat perkakas lebih menghasilkan secara ekonomi.
"Kalau buat golok, pagi ini dikerjakan dan sorenya jadi itu sudah bisa menghasilkan uang. Kalau keris tidak bisa seperti itu. Itu sebabnya saya menyebutkan, membuat keris lebih kepada ngayah kepada leluhur," tegas pemilik usaha Margi Keris ini.
Dalam sebulan, keris yang dapat dikerjakan bisa dihitung dengan jari. Sebab, proses pembuatannya dari tahap ke tahap disertai dengan pemilihan hari yang tepat.
"Mulai dari memilih logam, melipat dan menggabungkan tiga unsur logam seperti besi, baja, hingga nikel, sampai dengan sudah jadi keris itu ada ritualnya. Ini yang membuat lama proses pembuatannya," sebutnya.
Soal sisi mistis, Margita menyebutkan hal itu akan selalu ada. Apalagi proses pembuatan keris disertai dengan pemilihan hari baik dan ritual.
"Misalnya, pada saat saya menempa tiba-tiba ada petir atau api besar padahal tidak ada mendung atau hujan. Itu salah satu contoh saja. Tapi itu sudah biasa," sebutnya.
Dari Ritual ke Ritual
Ia menjelaskan, ritual yang rutin dilakukan dalam tahapan pembuatan keris disebut dengan melaspas. Atau ritual paling sederhana disebut dengan ngaturang (mempersembahkan) pejati.
"Kalau saya bisa sampai tiga kali ritualnya. Pada saat memilih logam, melipat dan membuatnya menjadi kodokan, slorokan, landakan, sampai benar-benar menjadi keris," ungkap Margita.
Karena proses pembuatan yang panjang itu, ia menyebutkan bahwa dalam sebulan paling tidak ada empat keris yang bisa dibuat.
"Tidak bisa dihitung setahun berapa jadinya. Proses membuatnya juga kadang berdua atau bertiga. Kadang ada juga tahapan yang hanya boleh dilakukan sendiri," ungkapnya.
Menurutnya, masing-masing orang yang memesan keris memiliki berbagai tujuan. Bahkan keris buatannya ada yang dipesan dari luar negeri seperti beberapa negara Eropa.
Umumnya, keris yang dipesan dipakai untuk pemberian orang tua kepada anaknya yang menikah. Terlebih di Bali, para orang tua menyiapkan upacara untuk anaknya pada tahap-tahap usia tertentu.
"Dari lahir sampai dengan menikah ada upacaranya. Di saat menikah itulah, orang tua akan menyerahkan keris kepada anaknya. Makna dari pemberian keris itu sebagai simbol si anak telah memiliki tanggung jawab untuk menjaga keluarganya. Karena itu, pasangan pengantin laki-laki di Bali selalu membawa keris," jelas Margita.
Selain itu, keris juga dibuat untuk kepentingan upacara keagamaan sampai dengan tujuan menghormati para leluhur dari keluarga pemesan.
"Kalau untuk koleksi, itu lain lagi. Itu sama seperti penghobi. Kalau orang yang senang bisa mengeluarkan uang sampai ratusan juta," jelasnya.
Ia menyebutkan, rentang harga keris buatannya dari Rp 800 ribu hingga puluhan juta. Meski begitu, terkadang ia sulit untuk menentukan harga karena berkaitan dengan rasa.
"Kalau (menentukan) harga itu yang menyulitkan. Ini tergantung rasa dari pembuat dan pemesan atau pembelinya. Kemarin ada yang membeli seharga Rp 27 juta. Orang itu merasa cocok dengan keris pilihannya," imbuhnya.
(iws/dpra)