Peristiwa pembunuhan massal pada 1965-1966 di Bali menyisakan trauma yang mendalam di benak keluarga korban. Trauma itu hingga kini masih dirasakan oleh keluarga Agung Alit, dari bibi hingga ibu tiriya.
Ayah Agung Alit bernama I Gusti Made Raka turut dibunuh dan dituduh komunis/Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam peristiwa kelam itu. Selain itu, rumah keluarga Agung Alit juga diratakan.
"Kalau boleh dibilang, sampai sekarang (masih trauma)," kata Agung Alit saat ditemui detikBali di Taman Baca Kesiman (TBK), Jumat (30/9/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Trauma itu hingga kini masih menghantui keluarga Agung Alit. Salah satunya yakni ibu tirinya yang kini berusia 80 tahun. Menurutnya, ibu tirinya tersebut sering pangling dan merasakan ada petugas yang melakukan pemeriksaan ke rumahnya. Padahal sebetulnya tidak terjadi apa-apa.
"Kemarin ini dia pangling orangnya, setiap saya datang, 'Gung Alit sudah hilang pemeriksa itu, tadi ada pemeriksa di sini'. Padahal nggak ada apa," tutur Gung Alit.
Menurut Gung Alit, ibu tirinya itu tidak mau bercerita mengenai peristiwa 65. Ia hanya mau menceritakan itu kepada orang terdekatnya saja.
"Susah mungkin bagi orang lain untuk berempati terhadap peristiwa itu karena kita tidak melihat," ujar Agung Alit.
"Di keluarga kami, hampir semua trauma, terutama yang umur di atas saja. Harus cari selah untuk mau bercerita, kecualidengan orang yang dekat," tambahnya.
Kisah traumatik terhadap peristiwa 65 itu bukan baru-baru ini saja dirasakan oleh Agung Alit. Dulu pada waktu tamat SMA ia pernah hendak jual tiket bus Bali-Jawa. Agung Alit kemudian memasang papan di depan rumahnya di Jalan Wage Rudolf Supratman, Denpasar.
Ketika itu, bibinya yang masih hidup mengaku ketakutan saat Agung Alit memasang pelang tersebut. Bibinya merasa ketakutan rumah mereka kembali akan diratakan seperti dulu ketika peristiwa pembunuhan masal pada 1965 hingga 1966.
"Oh ini trauma, saya belum tahu ini trauma namanya. Oh endak diizinkan. Dah endak kita pasang (plang jual tiket bus Jawa-Bali)," kisahnya.
Tak hanya itu, bibinya juga sempat ketakutan ketika Agung Alit menyelenggarakan nonton bareng film Soe Hok Gie di Taman 65. Pada saat sedang asik menonton film dan ada lagu Genjer-genjer, bibinya lari.
"Itu indikator bahwa dia trauma. Lari dia. Saya cari ke dalam. 'Kamu di mana dapat ini, nanti rumah lagi diratakan kayak dulu. Kamu di mana dapat kok muter lagu ini'. Saya bilang beli di Matahari. 'Benar mana buktinya.' CD-nya saya tunjukan, baru dia mau keluar nonton lagi," kenang Agung Alit.
"Tadinya sembunyi semua. Keras sekali keras (traumanya), adiknya dia soalnya dibunuh. Adiknya dibunuh, ada paman saya juga. Kita satu kompleks gitu kayak rumah Bali. Misan mindon semua tinggal di situ," imbuhnya.
Lawan Trauma
Sekian waktu berjalan, Agung Alit mulai berpikir bahwa dirinya juga tidak bisa terus hidup dalam ketakutan seperti itu. Akhirnya ia bersama kakaknya sekeluarga memilih untuk terbuka secara gamblang bahwa ayahnya dibunuh pada peristiwa 65 karena dituduh PKI.
"Waktu itu (Orde Baru), orang dituding komunis PKI, Soekarnois itu kacau balau itu, pokoknya dibunuh dihabisi. Bagi saya tidak lebih baik daripada terus terang, akui saja terus terang agar tidak ada beban," ungkapnya.
Geoffrey Robinson dalam bukunya berjudul Sisi Gelap Pulau Dewata: Sejarah Kekerasan Politik menyebut peristiwa 1 Oktober 1965 di Indonesia sebagai mukadimah salah satu pembantaian terbesar abad ini. Pembunuhan paling ganas terhadap anggota maupun terduga PKI terjadi di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali.
Bali, tulis Geoffrey, menjadi provinsi yang paling celaka lantaran antara Desember 1965 dan awal 1966, diperkirakan 80.000 orang menjadi korban pembantaian. Jumlah tersebut sekitar 5 persen dari penduduk Bali sekitar 2 juta jiwa saat itu.
(iws/nor)