Kelompok Ahli (Pokli) Gubernur Bali Bidang Kelautan dan Perikanan, Ketut Sudiarta membantah pernyataan warga Desa Adat Intaran yang menyebut pengerukan (dredging) dalam pembangunan terminal gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) bakal merusak terumbu karang. Menurutnya, tak ada terumbu karang di areal pengerukan.
"Kami juga sudah mengkajinya bahwa di situ sangat minimal ada ekosistem laut yang rapuh yang mungkin rusak akibat pembangunan. Jadi di situ terumbu karang tidak ada di situ, jadi bukan merupakan areal terumbu karang," kata Sudiarta saat ditemui detikBali di Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bali, Kamis (7/7/2022).
Sudiarta menuturkan, zona yang akan dilakukan pengerukan dalam proyek terminal LNG sudah sesuai peruntukan, yakni untuk pelabuhan, kapal, tambak, dan terminal khusus. Terlebih dirinya juga terlibat dalam rancangan ruang laut yang diatur dalam Rancangan Peraturan Daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (Ranperda RZWP3K) Bali.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau dari ruang laut itu memang kebetulan kami juga terlibat dalam perencanaan ruang laut, zonanya sudah sesuai. Artinya sudah dia berada pada zona yang diperuntukkan untuk pelabuhan untuk kapal, tambak, terminal khusus," kata Sudiarta yang juga akademisi dari Universitas Warmadewa (Unwar) tersebut.
Sudiarta menjelaskan, areal dredging untuk terminal LNG merupakan bekas lokasi pengerukan pasir untuk reklamasi Pulau Serangan yang dilakukan oleh PT Bali Turtle Island Development (BTID). Areal tersebut sebelumnya merupakan titik pasang-surut air laut sehingga merupakan lokasi yang dangkal.
"Kalau pasang surut itu kita mungkin masih bisa mancing di sana. Tapi sekarang kedalamannya 5 sampai 9 meter," imbuhnya.
Meski kedalaman bekas kerukan reklamasi Pulau Serangan sudah mencapai 9 meter, namun masih perlu dilakukan dredging dalam proyek terminal LNG. Hal itu untuk mengakomodir kapal pengangkut gas yang cukup besar, baik di alur masuk maupun di lokasi kapal berlabuh. Oleh karena itu, diperlukan pengerukan kira-kira sedalam 1 meter sehingga total kedalaman laut mencapai 10 meter.
"Itu dikeruk kira-kira satu meter lagi untuk mendapatkan 10 meter. Nah untuk itu di areal pengerukan saya pastikan tidak ada terumbu karang sehingga tidak akan merusak karang," tegas Sudiarta.
Selengkapnya baca di halaman berikutnya...
Namun menurutnya, hal itu bisa diatasi dengan teknik pengerukan dengan menempatkan shield protector yang bagus. Pemasangan shield protector dilakukan agar air yang keruh tidak menyebar ke mana-mana.
"Jadi kalau itu dilakukan dengan baik, hati-hati ya, dan diawasi dengan baik, pengerukan itu bisa minimal dampaknya terhadap terumbu karang. Itu yang saya maksud, artinya tidak signifikan dia menghancurkan habitat karena di lokasi itu bekas kerukan dan memang dari dulu tidak ada terumbu karang di sana," tegasnya.
Sebelumnya, krama (masyarakat) Desa Adat Intaran, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar melakukan aksi demonstrasi turun ke jalan menolak rencana pembangunan terminal gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) pada Minggu (19/6/2022). Desa Adat Intaran menolak proyek LNG karena rencananya dibangun di kawasan mangrove Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai.
Bendesa Adat Intaran I Gusti Agung Alit Kencana waktu itu menyebut bahwa adanya terminal LNG di kawasan mangrove Muntig Siokan akan mengorbankan terumbu karang. Sebab ada rencana pengerukan pasir laut sebanyak 3,3 juta meter kubik untuk memuluskan kapal tanker masuk ke kawasan tersebut.
"Terumbu karang kita akan dibabat, akan dibor akan digergaji, akan dikeruk untuk memuluskan tanker masuk ke wilayah Muntig Siokan. Berapa yang akan dikeruk? 3,3 juta kubik. Bisa dibayangkan sendiri," terang Alit Kencana ketika itu.
"Mereka akan menghabisi terumbu karang kita padahal kita baru menanam kemarin, kita baru menanam. Waktu Corona kita baru menanam itu," tambahnya.
Simak Video "Video: Melihat Drone Canggih yang Dianggap Berharga Peneliti Australia"
[Gambas:Video 20detik]
(iws/iws)