Rencana pembangunan terminal gas alam cair atau liquefied natural gas (LNG) di kawasan hutan mangrove di pesisir Desa Sidakarya, Denpasar, menuai polemik. PT Dewata Energi Bersih (PT DEB) pun menyebut pemanfaatan hutan mangrove di wilayah tersebut dinilai sudah sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Denpasar yang tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Denpasar Nomor 8 Tahun 2021.
Humas PT DEB Ida Bagus Ketut Purbanegara menjelaskan, berdasarkan Pasal 69 huruf c poin 3 dari Perda tersebut, disebutkan bahwa pemanfaatan dan penggunaan zonasi Taman Hutan Raya (Tahura) dapat dilakukan sepanjang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Ia lantas merunut dari aturan perundang-undangan di daratan, bahwa berdasarkan peta Dinas Kehutanan ada blok khusus yang jika disesuaikan Perda Nomor 8 pada peta sebarannya, disebutkan Desa Sidakarya terbuka sebagai tempat yang memang ditetapkan untuk pembangunan infrastruktur dan jaringan gas.
"Jadi secara payung hukum itu memang muncul dari Perda Nomor 8 RTRW Kota Denpasar itu sendiri. Ini dari aturan di darat sudah jelas," ujarnya kepada wartawan di Denpasar, Senin (20/6/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berlanjut pada aturan di wilayah laut, ia berpandangan sebenarnya ini bukan domain Perda 8 Kota Denpasar lagi, melainkan Kementerian Kelautan RI. Berdasarkan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Bali, lokasi Tahura ditetapkan sebagai zona pelabuhan, area offshore atau area pantai.
"Disebutkan pula bahwa area offshore atau area pantai di lokasi Tahura merupakan area yang sesuai untuk pembangunan infrastruktur dalam hal ini terminal LNG. Jadi itu dasar payung hukum kenapa kemudian kami memilih tempat itu," jelasnya.
Alasan selanjutnya, kata Purbanegara, 80 persen beban kelistrikan Pulau Dewata ada di wilayah Bali Selatan. Sehingga jika lokasi terminal LNG nantinya dibangun di wilayah lain, namun pembangkitnya ada di Selatan, tentunya akan memberatkan dari sisi ekonomi atau pembiayaan.
"Nantinya PLN tidak akan sanggup berinvestasi bila terminal dibangun jauh dari pembangkit listrik," imbuhnya.
Kemudian terkait isu kerusakan lingkungan atau dampak yang muncul dari pembangunan terminal LNG merupakan risiko yang memang akan muncul namun sudah dalam rencana penanganan dari PT DEB.
"Sesuai izin yang dikeluarkan Kementerian Kelautan kami diminta untuk menanam kembali hutan mangrove dan melakukan pemantauan hingga hutan mangrove tersebut kokoh seperti keadaan sekarang ini. Jadi bukan tanam lalu ditinggalkan, tapi tanam lalu diawasi sampai jadi," ucapnya.
"Untuk isu kerusakan terumbu karang, itu terumbu karang posisinya di mana saya kurang paham karena lokasi teluk yang akan kami garap nanti adalah bekas pengurukan reklamasi Pulau Serangan sebelumnya. Justru di situ ada sedimentasi atau pendangkalan yang harus kami garap kembali kedalamannya supaya kapal-kapal yang masuk dapat manuver," tandasnya.
Halaman berikutnya Pro Kontra Revisi RTRWP Bali...
Diberitakan sebelumnya, Gubernur Bali Wayan Koster meminta DPRD Bali untuk cepat berproses terkait revisi Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Perda Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2009-2029 direvisi lagi. Padahal, Perda tersebut baru diubah dua tahun lalu.
Selain Perda RTRW, Raperda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) juga sebenarnya sudah disahkan di DPRD Bali. Namun dalam proses harmonisasi di Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), tiba-tiba sekarang harus diintegrasikan dengan Perda RTRW.
"Jadi dua Perda definitif dan satu Raperda (RZWP3K) ini sebenarnya sudah secara substansi telah mendapat persetujuan kita bersama di forum DPRD ini," jelas Koster saat rapat Paripurna penyampaian Raperda RTRW tersebut di DPRD Bali, Senin (20/6/2022).
Koster kemudian meminta Dewan Bali untuk segera dan cepat merevisi Perda RTRW tersebut. Bahkan, ia meminta revisi diselesaikan dalam kurun waktu dua pekan saja.
"Kalau bisa selesainya dua Raperda ini (diselesaikan) tidak perlu satu bulan, kalau bisa dua minggu lebih baik sehingga lebih cepat kita ajukan ke Kementerian Dalam Negeri," pinta Koster.
Keinginan Koster yang meminta DPRD Bali mempercepat revisi Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Bali, menuai kecaman dari sejumlah organisasi lingkungan hidup di Bali. Aktivis lingkungan hidup menilai, upaya revisi RTRWP Bali itu bakal memuluskan rencana pembangunan proyek LNG di kawasan hutan mangrove.
Direktur Walhi Bali Made Krisna Dinata menegaskan bahwa yang dipersoalkan aktivis lingkungan bukan pembangunan terminal LNG, melainkan lokasinya yang dinilai bakal mengorbankan hutan mangrove.
"Boleh Anda membangun terminal LNG, tidak apa-apa kami tidak mempermasalahkan itu. Tapi jadi masalah ketika proyek ini harus mengorbankan lebih kurang 14,5 hektar kawasan hutan mangrove. Jangan di kawasan mangrove, itu saja," ujar Krisna.
Sementara itu, warga Desa Adat Intaran, Denpasar, melakukan aksi demonstrasi turun ke jalan menolak rencana pembangunan LNG, Minggu (19/6/2022). Diketahui, lokasi pembangunan LNG itu bersebelahan dengan wilayah Desa Adat Intaran. Bendesa Adat Intaran, I Gusti Agung Alit Kencana mengatakan, rencana pembangunan terminal LNG di kawasan mangrove melanggar Peraturan Daerah (Perda) tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bali Tahun 2009-2029. Sebab dalam aturan itu, terminal LNG harusnya berada di kawasan Benoa.
Simak Video "Video: Acara HUT Bhayangkara di Bali, Kapolda Unjuk Gigi Kemampuan Kempo"
[Gambas:Video 20detik]
(iws/iws)