Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Daerah pemilihan (Dapil) Bali I Wayan Sudirta mendorong Kejaksaan Agung (Kejagung) RI menggunakan ketentuan pidana korupsi kepada pelaku mafia minyak goreng (migor).
Perbuatan mafia migor itu dinilainya sudah masuk dalam kategori perbuatan melawan hukum, memperkaya diri sendiri atau orang lain, baik perorangan maupun korporasi, serta merugikan keuangan negara dan perekonomian nasional.
"Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang Undang 30 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah terpenuhi," ujar Wayan Sudirta kepada DetikBali, Kamis (21/4/2022).
"Perbuatan para mafia minyak goreng secara nyata telah merugikan perekonomian nasional bahkan sampai pada kerugian pada tingkat pemenuhan kebutuhan masyarakat," tegas senior pengacara yang juga mantan aktivis LBH Jakarta ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagaimana diketahui, masyarakat telah dirugikan atas kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng di pasaran sejak awal tahun 2022 ini.
Wayan menegaskan, besarnya kebutuhan pasar dalam negeri atas ketersediaan migor sangat berpotensi bahwa mafia minyak goreng tidak hanya dimainkan oleh pihak yang sudah dijadikan tersangka oleh Kejaksaan Agung saat ini.
Untuk itu, Wayan juga mendorong Kejagung RI dapat menyasar pihak-pihak lain yang memiliki potensi tinggi terlibat dalam kegiatan mafia minyak goreng ini.
"Saya percaya Kejaksaan Agung tidak akan berhenti sampai dititik ini. Dengan kehebatan sumber daya manusia ditambah dengan modal kewenangan baru dalam UU Kejaksaan yang telah diubah belum lama ini, saya mendorong dan menaruh harapan besar Kejagung dapat menyasar pihak-pihak lain yang turut bermain sebagai mafia minyak goreng ini," urai pria yang juga mantan pengacara Presiden Jokowi di Mahkamah Konstitusi ini.
Selain itu, Wayan juga memberikan apresiasi yang tinggi terhadap prestasi Kejaksaan Agung dalam mengungkap mafia minyak goreng.
Kejaksaan Agung kata Wayan telah memiliki nilai sensitivitas yang kuat terhadap kehidupan sosial masyarakat.
"Seperti ini hal seharusnya penegakan hukum kita dipraktikan. Potensi kejahatan akan selalu ada di balik kesulitan yang dihadapi masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya,"kata Wayan.
Untuk itu tambahnya, dibutuhkan kejelian, sensitivitas, empati terhadap kesulitan masyarkat luas harus juga menjadi pegangan bagi penegak hukum kita baik Jaksa, Polisi, maupun KPK.
"Nilai keadilan, dan kemanfaatan hukum harus selalu didahulukan dari pada nilai kepastian hukum itu sendiri. Mafia minyak goreng bukan hanya bertentangan dengan nilai kepastian hukum, tetapi juga mengingkari nilai-nilai kemanfaatan dan keadilan hukum bagi masyarakat," tegas Wayan.
Baca juga: 'Beh', Minyak Goreng Langka di Negara |
"Sekali lagi, saya menaruh harapan besar bagi Kejaksaan agar terus berdiri di depan kepentingan masyarakat luas dalam melakukan penegakan hukum," tukas Wayan Sudirta.
Sebelumnya, dalam keterangan pers Kejaksaan Agung mengungkapkan nama-nama tersangka kasus mafia minyak goreng yaitu Indrasari Wisnu Wardhana (IWW), Master Parulian Tumanggor (MPT) selaku Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia, Stanley MA (SMA) selaku Senior Manager Corporate Affair Permata Hijau Grup (PHG), dan Picare Togare Sitanggang (PT) selaku General Manager di Bagian General Affair PT Musim Mas.
Jaksa Agung , Burhanuddin menyampaikan duduk perkara yang menjerat keempat tersangka. Perkara ini berawal dari adanya kelangkaan minyak goreng yang terjadi pada akhir 2021 hingga menyebabkan naiknya harga minyak goreng.
Kemudian, pemerintah melalui Kemendag mengambil kebijakan untuk menetapkan DMO atau domestic market obligation dan DPO atau domestic price obligation bagi perusahaan yang ingin melaksanakan ekspor CPO dan produk turunannya. Selain itu, Kemendag menetapkan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng sawit.
"Dalam pelaksanaannya perusahaan eksportir tidak memenuhi DPO namun tetap mendapatkan persetujuan ekspor dari pemerintah," ucap Burhanuddin.
Para tersangka itu diduga melanggar Pasal 54 ayat (1) huruf a dan ayat (2) huruf a, b, e, dan f Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan.
(dpra/dpra)