I Made Sanggra adalah seorang pendekar sastra Bali modern. Menulis karya sastra sejak akhir 1950-an, Sanggra akhirnya menjadikan sastra Bali modern sebagai jalan hidup. Ia tetap gigih membumikan sastra Bali modern saat memasuki usia senja.
Sepekan sebelum kematiannya, dengan tubuh sakit-sakitan, Made Sanggra masih berkarya. Dia mengumpulkan cerpen dan puisi lamanya yang tersimpan rapi. Kelak, 10 cerpen dan tujuh puisi karya Sanggra yang dirangkum dalam buku bertajuk 'Bir Bali' menjadi karya terakhirnya.
"Bapak (Made Sanggra) menitipkan draf naskah, berlembar-lembar kertas dijepret. Bapak berpesan agar karyanya diterbitkan," kenang Putu Suarthama, anak keempat Made Sanggra, saat ditemui detikBali di kediamannya di Banjar Gelulung, Sukawati, Gianyar, Kamis (20/3/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Made Sanggra tetap produktif menulis di tengah minimnya peminat sastra Bali modern. Sastrawan kelahiran 1 Mei 1926 itu terus mempublikasikan karya-karyanya meski dalam keterbatasan finansial.
Dua karya Sanggra yang paling ikonik adalah kumpulan puisi 'Kidung Republik' dan cerpen 'Katemu Ring Tampaksiring'. Puisi-puisi dalam 'Kidung Republik' lebih banyak mengangkat tema heroisme yang dipengaruhi oleh latar kehidupan Sanggra sebagai pejuang kemerdekaan.
Anak kedua Sanggra, I Made Suarsa, menuturkan mendiang ayahnya selalu menggebu-gebu jika berdiskusi tentang perjuangan di era kolonial. Menurutnya, pemilihan 'Kidung Republik' (1997) sebagai judul kumpulan puisi berbahasa Bali itu diusulkan oleh keluarga.
"Bapak menggebu-gebu kalau diajak bicara soal republik, revolusi, dan masalah perjuangan. Pada umumnya veteran seperti itu. Karena latar belakang seperti itu, keluarga mengusulkan judulnya Kidung Republik," tutur Suarsa.
Karya ikonik Sanggra berikutnya adalah 'Katemu Ring Tampaksiring'. Cerita pendek ini mengisahkan tentang romansa seorang perempuan Bali dengan wartawan asal Belanda di Tampaksiring, Gianyar. Kisah fiksi ini memotret momen saat Ratu Belanda, Juliana, mengunjungi Bali pada 1970-an.
![]() |
Guru Besar Universitas Udayana, Nyoman Darma Putra, dalam artikel 'Made Sanggra, Perginya Sastrawan Berilmu Padi' menyebut 'Katemu Ring Tampaksiring' sebagai cerpen sastra Bali modern terbaik dan belum ada yang bisa menandingi sampai kini. Menurutnya, seseorang yang ingin mempelajari sastra Bali modern wajib membaca cerpen karya Made Sanggra itu.
"Struktur naratifnya indah, nilai pesannya dalam. Tampilnya tokoh Barat dalam cerpen ini menambah sifat modern sastra Bali modern," tulis Darma Putra.
Buku kumpulan cerpen 'Katemu Ring Tampaksiring' diterbitkan pertama kali oleh pengarangnya pada 1970-an dengan format stensilan karena terbentur dana. Pada 2004, masih atas usahanya sendiri, buku tersebut dicetak ulang dalam format trilingual (bahasa Bali, Indonesia, dan Inggris. Cetakan terakhir itu bahkan menjadi koleksi beberapa perpustakaan di luar negeri seperti Amerika dan Australia.
Semasa hidupnya, Made Sanggra juga menulis sastra Bali tradisional seperti geguritan. Dia malah pernah menulis sejumlah puisi dalam bahasa Indonesia sebelum akhirnya fokus menulis sastra Bali modern.
Saat mengenyam pendidikan di Vervlog School (Sekolah Rakyat) di Sukawati, Made Sanggra memulai proses kreatifnya menulis karya sastra dengan tulisan tangan. Belakangan, ia menuangkan buah pikirannya menggunakan mesin ketik pemberian sanak keluarga.
Putu Suathama menuturkan mendiang ayahnya berpesan agar berkarya dengan jujur. Menurutnya, Sanggra lebih menyenangi proses kreatif dan tak berorientasi pada honor maupun pujian. "Kalau pun mendapat honor, itu dianggapnya sebagai bonus dan apresiasi," tutur Suathama.
Menginspirasi
Karya-karya Made Sanggra banyak menginspirasi kemunculan penulis-penulis sastra Bali modern lainnya. Salah satunya Made Sugianto, sastrawan asal Desa Kukuh, Tabanan, Bali.
Sugianto pertama kali mengenal karya Sanggra saat didaulat mengikuti lomba baca puisi tingkat kecamatan pada 1991. Sugianto yang kala itu masih duduk di bangku kelas V sekolah dasar (SD) membacakan puisi Made Sanggra berjudul 'Batu'.
Ia tak menampik cerpen 'Katemu Ring Tampaksiring' telah membangkitkan pecinta sastra untuk ikut berkarya. Menurut Sugianto, cerpen karya Made Sanggra itu telah memantik generasi muda menekuni sastra Bali modern.
"Dedikasi beliau dalam berkarya luar biasa untuk menyuarakan karya sastra berbahasa Bali, salah satunya membuat majalah Satua dan Canangsari," tutur Sugianto. Menurut dia, Made Sanggra juga menginspirasinya untuk menerbitkan majalah Ekspresi dengan sisipan halaman berbahasa Bali.
Made Suarsa punya kenangan tersendiri terkait mendiang ayahnya, Made Sanggra. Dosen Sastra Indonesia Universitas Udayana (Unud) ini meneruskan jejak sang ayah dalam melestarikan bahasa Bali dengan menulis karya sastra Bali modern.
Suarsa bahkan telah menerbitkan puluhan buku sastra Bali modern berupa kumpulan cerpen dan puisi. Beberapa di antaranya Gde Ombak Gde Angin (2007), Merta Matemahan Wisia (2008), Kama Bang Kama Putih (2011), Nguntul Tanah Nulengek Langit (2013), dan masih banyak lagi.
Karya-karya Made Suarsa lainnya berupa geguritan, antara lain Geguritan Sastrodayana Tattwa, Geguritan Ken Arok Ken Dedes, Geguritan Siwaratri, dan lainnya. Seperti ayahnya, Suarsa juga diganjar dengan Hadiah Sastra Rancage atas dedikasinya melestarikan bahasa daerah melalui penulisan sastra Bali.
"Beberapa bulan sebelum meninggal, bapak berpesan kepada saya, 'Sa, tolong barengin jep (bantu) perkembangan sastra Bali modern. Sastra Indonesia kan be liu ajak megae (sudah banyak peminatnya). Biar lebih semarak dari sekarang.' Padahal tiang (saya) basic-nya sastra Indonesia," ungkap Made Suarsa.
Made Sanggra dikaruniai tiga anak dari pernikahannya dengan istri pertama Ni Made Yarti dan empat anak dari istri kedua Ni Putu Gunarsi. Sastrawan yang juga veteran pejuang kemerdekaan itu meninggal dalam usia 82 tahun pada 20 Juni 2007. Jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Gianyar.
Keluarga mendirikan Yayasan Wahana Dharma Sastra Made Sanggra pada 2007 dan membangun perpustakaan untuk menyimpan karya-karya mendiang. Pada 2023, yayasan ini membuat pagelaran bertajuk 'Tribute to Mestro: Ketemu Made Sanggra Ring Bali Jani'. Acara tersebut menampilkan musikalisasi puisi, penayangan dokumenter biografi, pembacaan puisi, hingga testimoni mengenai karya-karya Made Sanggra.
(iws/gsp)