Jika ditinjau dari penamaannya, kata Sugihan Jawa berasal dari urat kata sugi yang memiliki arti membersihkan dan jawa artinya luar. Sehingga, Sugihan Jawa dirayakan sebagai hari penyucian secara sekala maupun niskala terhadap alam makro atau bhuana agung.
Lontar Sundarigama menyebut Sugihan Jawa sebagai pasucian dewa kalinggania pamrastista bhatara kabeh. Artinya, Sugian Jawa adalah moemen pesucian dewa atau hari penyucian semua Bhatara.
Penyucian secara sekala ditandai dengan melakukan pembersihan bangunan suci, termasuk halaman pura, paibon, maupun alat-alat upakara. Berikutnya, penyucian secara niskala dilakukan dengan persembahan, yakni menghaturkan sesajen pangresikan pada tempat, pralingga, maupun pratima.
Dra Ni Made Sri Arwati melalui buku Hari Raya Galungan (1992) menjelaskan, prosesi saat Sugihan Jawa dilaksanakan pamretistan ring Bhatara Kabeh melalui pacara mererebu di pemrajan atau sanggah. Itulah sebabnya, Sugihan Jawa juga disebut dengan istilah parerebon yang menandai turumya semua Bhatara ke dunia.
Adapun upacara mererebu ini dilengkapi upakara pengeresikan dengan sarana bunga yang harum untuk menstanakan para Dewa dan Pitara. Upakara parerebuan ini diupayakan menggunakan guling itik.
Prosesi parerebuan atau pembersihan secara niskala dimulai dari bangunan suci paling utama. Misalnya Padmasana, Kemulan, Meru, Gedong, Taksu, hingga terakhir dilebar di jaba (halaman terluar). Sarana persembahan dilengkapi dengan segehan dan tetabuhan arak-berem.
Setelah rangkaian upacara tersebut selesai, umat kemudian melaksanakan persembahyangan dan matirtha. Setelah nunas tirtha, maka berahir pula pelaksanaan Sugihan Jawa. Rangkaian prosesi Sugihan Jawa di masing-masing daerah bisa saja berbeda, karena memiliki dresta (pakem) masing-masing.
Sebagai informasi, sehari setelah rahina Sugihan Jawa disebut dengan Sugihan Bali yang juga menjadi rangkaian Hari Raya Galungan. Adapun Hari Raya Galungan akan jatuh pada Buda Kliwon Dungulan yakni Rabu, 4 Januari 2023.
(iws/iws)