Tradisi magibung atau dalam kebiasaan sehari-hari warga Bali disebut makan bersama, tidak hanya dijumpai di wilayah Bali timur seperti Karangasem dan Klungkung, atau warga Bali di kabupaten lain.
Tradisi magibung ternyata juga diwarisi oleh masyarakat muslim yang bermukim di Kampung Sindu, Desa Keramas, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar.
Magibung yang dilaksanakan di kampung tersebut juga sama seperti yang dilakukan warga Bali umumnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kebiasaan makan bersama di masjid rupanya sudah dilakukan secara turun-temurun dan dilaksanakan setiap hari keagamaan. Meski secara keyakinan beragama berbeda, warga Kampung Sindu terlihat menyatu dengan budaya lokal.
Pada Hari Raya Idul Fitri, Senin (2/5/2022), warga Kampung Sindu melaksanakan salat id dengan penuh suka-cita. Karena sudah dua tahun ibadah dilaksanakan secara terbatas.
"Salat id sudah berjalan lancar. Setelah itu kami menggelar syukuran. Warga membawa buah-buahan, makanan, dan sajian lainnya yang ditempatkan sekaligus dalam satu wadah. Kami berkumpul di Masjid," jelas Kepala Lingkungan Kampung Sindu, Amiruddin.
Usai ibadah syukuran itu, warga kemudian mengambil sajian yang dikumpulkan dari rumah masing-masing. Tiap keluarga membentuk lingkaran. Sementara sajian ditempatkan di tengah lingkaran.
Saatnya makan bersama. Jemaah terlihat bersemangat. Mereka menyebar di setiap sudut bangunan Masjid Darul Hijrah. Satu-satunya masjid di Desa Keramas. Namun warga lebih banyak berada di teras masjid untuk menyantap hidangan.
Tokoh kampung setempat mengakui, tradisi magibung adalah satu di antara sekian kekhasan Bali yang turut diadopsi dan dilaksanakan rutin sejak lama. Ini tidak terlepas dari sejarah perjalanan para leluhur Kampung Sindu yang tinggal berpindah sebelum akhirnya tinggal di ujung timur desa Keramas saat ini
Tokoh agama Kampung Sindu, Desa Keramas, M Kholil Mawardi menjelaskan, kekerabatan warga muslim dengan warga Hindu di Keramas sangat erat sehingga jarang terjadi gesekan antarkelompok warga. Apabila ada kegiatan di desa, warga Kampung Sindu tidak pernah absen dilibatkan.
Yang menarik, warga muslim Sindu diberikan keleluasaan dalam setiap agenda. "Bahkan kami contohkan dalam hal berpakaian. Kami diizinkan berbusana muslim agar terlihat indahnya perbedaan. Bahwa kami ini satu, warga Bali. Hanya keyakinan terhadapNya yang berbeda," tegas Kholil.
Menurut beberapa versi, cerita Kampung Sindu bermula dari datangnya para sesepuh dari wilayah Sidemen, Karangasem, ke Keramas. Saat itu, pihak Puri Keramas sedang mencari pendeta untuk mengamankan wilayah desa.
Pihak Puri kemudian bertemu dengan seorang pendeta di dekat wilayah Sindu, Kecamatan Sidemen. Singkat cerita, pihak Puri meminta pendeta tersebut tinggal di wilayah Keramas. Namun permintaan itu disanggupi asalkan diizinkan untuk mengajak nyama selam (saudara Islam) ke Keramas.
Setelah diizinkan, datanglah enam keluarga nyama selam ke Keramas. Mereka kemudian diberi fasilitas oleh Puri di antaranya tanah, sawah, pekarangan, lahan masjid, dan pekuburan. Kemudian kenapa dari Puri memberikan fasilitas itu?
Menurut versi tetua Kampung Sindu, perhatian Puri kepada masyarakat memang sangat tinggi. Pemberian fasilitas itu juga sangat beralasan, mengingat orang-orang dari Sindu Sidemen itu punya kelebihan masing-masing yang tentu sangat dibutuhkan pada zaman itu.
Kata Kholil, para leluhurnya sangat jago bela diri. Sehingga kemampuan ini sangat dibutuhkan untuk memperkuat pertahanan zaman itu. Ada pula yang pandai membuat keris.
"Sedangkan cerita dari versi Puri, warga kami berasal dari Sasak. Namun keberadaan awal disebutkan di wilayah Sindu Sidemen, Karangasem. Jadi di sini persamaannya dilihat dari asal-muasal," terang Kholil.
Lambat laun, Kampung Sindu di Keramas berkembang. Layaknya orang Bali, warga di kampung itu juga fasih berbahasa Bali. Sehingga dari tampilan luar sepintas seperti warga lokal. Kemampuan adaptasi juga sangat baik sehingga warga Kampung Sindu dengan warga asli Banjar Lebah, Keramas, berbaur.
Mereka juga saling mendukung dan menghormati. Terbukti saat ada upacara keagamaan selalu melibatkan antarkelompok.
"Di sekitar kami juga berdiri rumah warga Keramas, ada griya, ada pura. Kami berdampingan dan biasa sejak lama. Jumlah warga di kampung kami sekitar 60 KK dan secara dinas masuk wilayah Banjar Lebah, Desa Keramas," pungkas Kholil Mawardi.
(kws/kws)