Kesultanan Serdang merupakan sebuah kesultanan yang berpisah dari Kesultanan Deli. Kesultanan Serdang didirikan oleh seseorang yang merupakan keturunan dari Kesultanan Deli.
Kesultanan Serdang didirikan pada tahun 1723 setelah adanya sengketa kepemimpinan kala itu. Pada masa itu, Sultan Deli ke 3 Tuanku Panglima Padrap wafat dan ada pertikaian antara anak dari Tuanku Panglima Padrap.
Melansir dari tulisan berjudul Kesultanan Serdang Perkembangan Islam Pada Pemerintahan Sulaiman Shariful Alamsyah karya dari Dr. Phil Ichwan Azhari, dkk dijelaskan bahwa kala itu anak Tuanku Panglima Padrap bernama Tuanku Umar Johan Alamshah Gelar Kejeruan Junjongan digeser oleh saudaranya, Tuanku Panglima Pasutan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seharusnya tahta Sultan Deli dilanjutkan oleh Tuanku Umar Johan Alamshah yang merupakan pewaris takhta Kesultanan Deli karena dia anak dari permaisuri, Tuanku Puan Sampali (permaisuri Tuanku Panglima Paderap).
Akan hal itu, Tuanku Umar Johan dengan membawa ibunnya terpaksa mengungsi ke Kampung Besar di wilayah Serdang. Pengambilan kekuasaan itu, banyak ditentang oleh beberapa raja yang menguasai beberapa wilayah di Sumatera Timur.
Raja raja lokal tersebut lah yang memberikan dukungan kepada Tuanku Umar Johan untuk menjadi pemimpin di wilayah Serdang. Raja lokal itu seperti Raja Urung Sunggal, lalu Raja Urung Senembah, kemudian Raja Urung Batak Timur, lalu seorang dari Kejeruan Lumu (Aceh).
Sejak saat itulah, wilayah Serdang yang dipimpin oleh Tuanku Umar Johan semakin berkembang dan para raja lokal yang dari awal mendukungnya akhirnya menobatkan Tuanku Umar Johar Alamshah sebagai kepala pemerintahan baru di Kampung Besar (Serdang) pada tahun 1723. Setelah dinobatkan itulah Kerajaan Serdang berdiri sebagai pecahan dari Kerajaan Deli.
Masih pada tulisan yang sama, saat kepemimpinan Tuanku Umar Johan pada saat itu banyak konflik yang terjadi. Barulah pada masa kepemimpinan anak Tuanku Umar Johan yang bernama Sultan Ainan Johan Alamshah barulah mulai terbentuknya Lembaga Orang Besar, yaitu,
β’ Pangeran Muda, berwilayah di Sungai Tuan
β’ Datok Maha Menteri, berwilayah di Araskabu
β’ Datok Paduka Raja, berwilayah di Batangkuis
β’ Sri Maharaja, berwilayah di Ramunia.
Akan hal itu, Kesultanan Serdang menguasai wilayah Batang Kuis, Serdang, Bedagai, Percut, Senembah, Araskabu dan Ramunia. Setelah itu, anak dari Tuanku Umar pun mulai melebarkan kekuasaannya hingga ke wilayah Denai, Serbajadi, hingga ke pegunungan yang dihuni orang Karo dan Simalungun.
Semakin lama berdiri dan seiring berganti tahta, Kesultanan Serdang semakin dikenal dan masuk era keemasannya ketika Kesultanan Serdang dipimipin oleh cucu Tuanku Umar Johan yang bernama Sultan Thaf Sinar Baharshah, apalagi sejak dibukanya perkebunan tembakau, karet, dan kelapa sawit di wilayah mereka.
Nama Kesultanan mulai dikenal hingga ke Semenanjung Tanah Melayu sebab perdagangan antara Serdang dengan beberapa negeri sangat maju seperti lada dan hasil hutan, kemudian cukai di Serdang cukup moderat.
Pada laman resmi Kabupaten Serdang Bedagai juga dijelaskan bahwa kala itu perjanjian dagang dengan Inggris juga terbentuk. Perjanjian dagang itu berisi lada, tembakau, kacang putih, emas dan kapur barus. Inggris pun kian memasok kain-kain buatan Eropa.
Seiring berjalan waktu, kepemimpinan Serdang dipegang oleh anak dari cucu Tuanku Umar Johan yang bernama Sultan M. Basyarauddin Syaiful Alam Shah pada tahun 1850. Kala itu, pengaruh Belanda mulai kuat dan menggoyang Kesultanan Serdang dan menjadi awal kemerosotan hingga berakhirnya.
Sultan M. Basyarauddin Syaiful Alam Shah ketika itu, dijelaskan pada laman resmi Kabupaten Serdang Bedagai dengan tegas menolak Belanda dan ikut menentang Belanda bersama dengan Kerajaan Aceh. Namun, Kesultanan Deli ketika itu sangat dekat dengan Belanda, sehingga ia juga menjaga hal tersebut karena adanya keterikatan antara keduanya.
Belanda ketika itu tidak henti untuk mencoba menguasai Kesultanan Serdang, Belanda juga mencoba menciptakan pertikaian antara Kesultanan Serdang dan Kesultanan Deli. Dengan mencoba merebut daerah kekuasaan Serdang, namun Aceh kala itu datang membawa bantuan untuk membantu Kesultanan Serdang.
Kesultanan Serdang yang kala itu dibantu oleh Aceh begitu kuat, hingga akhirnya Belanda menurunkan ribuan pasukannya di Batubara dan TanjungBalai. Belanda langsung mencari Sultan Basyaruddin yang bertahan di pedalaman, hingga akhirnya Sultan Basyaruddin berhasil ditawan Belanda.
Setelah Belanda berhasil menawan Sultan Basyaruddin, Belanda kemudian merampas tanah-tanah jajahan Serdang seperti Padang, Bedagai, Percut dan Denai, hingga Sultan Basyaruddin wafat di Istana Bogak, Rantau Panjang dan dimakamkan di dekat Stasiun Araskabu.
Setelah Sultan Basyaruddin wafat, tahta pun berganti kepada anaknya yang masih kecil Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah. Wilayah yang dulunya milik Serdang pun diambil oleh Belanda dan dijadikan perkebunan seperti daerah Denai, Bedagai, Senembah dan Percut. Namun, Belanda malah mengikat kontrak dengan Kesultanan Deli. Sebab, Kesultanan Deli telah membantu banyak Belanda untuk menguasai wilayah Serdang.
Pada era inilah, pertikaian Serdang dan Deli yang kala itu didukung Belanda semakin memanas. Masa kepemimpinan Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah sangat panjang, sejak tahun 1866 hingga 1946. Pada masa itulah banyak peperangan dan pertikaian yang terjadi sebab perebutan daerah kekuasaan.
Saat itu, Jepang pun mulai mencoba untuk masuk ke Indonesia dan menguasai inti Kesultanan Serdang. Namun saat berhasil masuk, Jepang kala itu terkejut karena melihat gambar Tenno Heika Meiji (Kaisar Jepang) tergantung di dinding istana.
Jepang yang kala itu ingin merebut Serdang malah berbalik dan menjadi teman dari Serdang karena melihat gambar kaisar mereka di dinding Istana. Jepang dan Serdang saling bekerjasama, yang kala itu Serdang menyuplai beras ke tentara Jepang dan Jepang membantu Serdang jika ada yang mencoba mengusik.
Bahkan, kerjasama itu berlangsung lama sampai pada hari kemerdekaan Indonesia. Sementara Belanda yang kala itu bekerjasama dengan Deli pun menyerah kepada Jepang. Hingga Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Sultan Sulaiman pun mengirimkan telegram kepada Presiden Soekarno yang berisi mengakui kemerdekaan Indonesia.
Hingga akhirnya pada 4 Maret 1946, Kesultanan Serdang yang dipimipin Sultan Sulaiman resmi menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah Republik Indonesia, dan sejak saat itulah berakhir Kesultanan Serdang.
Simak Video "Video: Poin Penjelasan BPOM soal Suplemen Blackmores Diduga 'Beracun' di Australia"
[Gambas:Video 20detik]
(afb/afb)