Sumatera Utara (Sumut) terkenal dengan surganya kuliner. Banyak makanan-makanan yang nikmat dan juga lezat.
Jika berkunjung ke Kota Medan atau daerah lainnya di Sumut, detikers akan dimanjakan dengan kuliner yang beragam. Misalnya, Medan terkenal dengan Bika Ambon, Lontong Medan dan yang lainnya.
Lalu, ada juga Kota Pematang Siantar yang terkenal dengan roti gandanya, Tebing Tinggi dengan lemang dan banyak juga daerah lainnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, di setiap daerah di Sumut juga memiliki makanan-makanan khas yang tak kalah menggugah selera. Makanan itu juga memiliki nilai budaya yang tinggi. Makanan-makanan ini biasanya disajikan dalam berbagai acara-acara adat.
Seperti di Simalungun, ada makanan dayok binatur. Menu ini merupakan sajian khas yang dihidangkan saat upacara adat.
Dinamakan binatur karena proses pengerjaannya yang harus dilakukan dengan cermat dan teratur sejak proses pemotongan mengikuti alur anatomi ayam hingga saat proses penghidangan. Saat dihidangkan, bagian daging ayam harus disusun dengan teratur sesuai bentuk ayam.
Di masa Kerajaan Simalungun, makanan ini hanya disajikan untuk raja-raja Simalungun dan kaum bangsawan. Namun, seiring perkembangan zaman, makanan ini kini sudah bisa dinikmati oleh masyarakat biasa.
Dikutip dari website resmi Kemendikbud, dayok binatur terbuat dari daging ayam kampung jantan. Ayam ini nantinya akan diolah menggunakan perasan batang, seperti pohon sikkam.
Bagi masyarakat Simalungun, makanan Dayok Binatur mengandung nilai-nilai luhur yang diyakini dapat mengikat solidaritas sosial, kasih sayang dan harapan kerabat dalam kehidupan masyarakat Simalungun. Begitu pentingnya makanan dayok binatur ini hingga telah menjadi bagian dari setiap kehidupan masyarakatnya.
Orang Simalungun percaya, dayok binatur menjadi sarana menyampaikan doa berkat. Secara filosofis, orang yang menikmati dayok binatur akan menerima berkat dan menemukan keteraturan dalam hidup. Oleh karena itu, saat menyerahkan dayok binatur, orang tua menyertainya dengan doa-doa yang berisi petuah-petuah.
Pemilihan ayam sebagai bahan baku utama ini juga tidak sembarangan. Dalam adat masyarakat Simalungun, ayam dinilai memiliki sifat dan prinsip yang pantas ditiru oleh manusia.
Selain itu, ayam juga memiliki sifat atau ciri yang baik dalam kehidupan, misalnya dalam hal mengerami telurnya. Artinya rela menahan diri dan berpuasa demi mendapatkan tujuannya.
Kemudian, ayam juga dinilai sebagai makhluk yang melindungi anaknya di dalam lindungan sayapnya serta disiplin karena setiap subuh selalu berkokok tanpa mengenal hari dan musimnya.
Pemilihan ayam ini juga dikarenakan, masyarakat Simalungun tidak mengenal ternak babi dalam pelaksanaan adat. Namun, di saat sekarang, masyarakat dapat menyesuaikan dengan keinginannya.
Saat disajikan, dayok binatur itu disajikan dalam bentuk potongan-potongan daging ayam yang disusun teratur di atas piring. Potongan-potongan ayam itu bagi masyarkat Simalungun yang disebut gori.
Potongan atau gori terdiri dari sepuluh potongan yaitu: kepala 'ulu', leher 'borgok', katulang dada 'tuppak', rempelo 'bilalang', sel telur ayam 'tuahni', sayap 'habong', pangkal paha 'tulan bolon', paha ayam 'tulan parnamur', ceker 'kais-kais', buntut 'ihur'.
Setiap potongan atau gori pada Dayok Binatur disajikan dengan bentuk susunannya yaitu, pertama disusun sebagian potongan daging kecil-kecil (tok-tok) yang disusun di piring. Lalu, pada bagian depan ada kepala (ulu) yang di sokong dengan tulang dada (tuppak), bagian kiri dan kanannya sebelah pinggir diletakkan pangkal paha (tulan bolon), kemudian paha (tulan parnamur), disamping paha diletakkan sayap (habong) yang sejajar dengannya, kemudian berikutnya ceker ayam (kais-kais), di bagian belakang adalah ekor (ihur).
Pada bagian tengah ada leher (borgok) yang diikuti urutan kepala (ulu), lalu bagian tubuh ayam yang menghasilkan sel telur (tuahni), dan rempelo (atei-atei atau dekke bagas). Setiap potongan daging ayam ini harus di susun menurut adatnya.
Setiap bagian dari potongan-potongan tubuh ayam yang lengkap itu adalah suatu gambaran atau lambang yang dapat mengingatkan manusia agar membina hubungan yang saling membutuhkan. Pada saat proses pembuatannya tidak boleh dicicipi, dikarenakan takut kehilangan makna filosofisnya.
Sebelum mencicipi potongan dari dayok binatur tersebut, para keluarga akan berkumpul terlebih dahulu. Lalu mereka akan menyuruh, untuk mensucikan dirinya dengan air pangir, yaitu berupa air dari perasan jeruk purut dan diminum sedikit.
Setelah proses pensucian diri dilakukan biasanya orang tua dari anak tersebut akan memberi doa pada sang anak sambil memberikan piring yang berisi potongan-potongan daging ayam dari makanan adat dayok binatur tersebut.
Dayok binatur yang berupa potongan-potongan daging ayam yang tersaji dan tersusun secara aturan adat ini memiliki makna berupa petuah atau nasihat yang sangat berharga apabila diaplikasikan dalam kehidupan bermasyarakat, baik bangsa dan negara.
(mjy/mjy)