Jika Anda berkunjung ke Kota Medan, tak lengkap rasanya bila tak berkunjung ke Masjir Raya Medan atau dikenal dengan nama Masjid Raya Al-Mashun. Masjid bukan hanya sebagai tempat ibadah umat Islam, tetapi menyimpan sejarah panjang kejayaan Kesultanan Deli.
Lokasi masjid ada di Jalan Sisingamangaraja, hanya sekitar 200 meter dari Istana Maimun. Banyak wisatawan yang tak ingin melewatkan untuk berkunjung ke masjid yang megah itu.
Tim detikSumut pun menelusuri masjid yang kini sudah berusia lebih dari 100 tahun itu. Dari luar pekarangan, bentuk masjid ini sudah mencuri perhatian dengan kubah dan bangunan yang megah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gaya arsitektur Moor yang kental terlihat pada kubah masjid yang berbentuk pipih dan hiasan bulan sabit pada bagian puncaknya. Seni hias tinggi tampak pada lukisan cat minyak bunga-bunga dan tumbuhan, berkelok-kelok dengan manisnya menghiasi permukaan dinding, plafon, serta tiang-tiang kokoh pada bagian dalam masjid.
![]() |
Saat memasuki area teras masjid, tim detikSumut dapat merasakan kesejukan saat menyentuh ubin lantai berwarna hijau, biru dan kuning. Semilir angin berhembus memasuki teras masjid. Tak heran, cukup banyak masyarakat yang duduk sekadar melepas penat di teras masjid ini.
Tak hanya warga lokal, tampak juga turis asing dengan memakai penutup kepala atau kerudung yang tampak berkeliling mengitari teras masjid sambil memperhatikan arsitektur bangunan. Ada seorang pemandu lokal yang turut serta membawa turut itu keliling masjid.
Setelah membuat janji, Pengurus Masjid Raya Al-Mashun, Hamdan kemudian mengajak tim detikSumut untuk mengitari masjid yang didirikan pada 10 September 1909 pada kepemimpinan Sultan Ma'mun Al Rasyid Perkasa Alam itu.
Masuk ke Masjid Raya Al-Mashun seakan kita diajak melihat bagaimana pengaruh Eropa maupun Timur Tengah masuk ke Indonesia. Ukiran dan ornamen khas turut menghiasi dinding masjid ini.
Tujuh pilar marmer berdiri megah di ruang utama. Tampak di tengah pilar, ada lampu gantung mewah dengan gaya klasik, diketahui lampu ini didatangkan langsung dari Perancis.
Jika ditelusuri lebih dalam, detikers dapat merasakan nuansa Eropa dari desain di setiap jendela masjid dengan corak warna merah hijau, merah, dan kuning.
"Kalau untuk corak Eropanya itu bisa dilihat dari jendela besar dan kecil. Itu gaya Eropa. Nah kalau Timur Tengah ini bisa dilihat ornamen di seperti bulan separuh dengan gaya melengkung itu gaya timur tengah. Kalau Melayu itu bisa dilihat dari pintu kayu yang ada mau masuk ke ruang utama masjid, ada 7 pintu yang terbuat dari kayu, itu Melayu," jelasnya.
Masjid ini didesain oleh arsitektur asal Belanda Van Erp yang kemudian dilanjutkan oleh JA Tigdeman dengan bentuk segi delapan segi delapan simetris.
"Sebelum masjid ini dibangun, Sultan memerintahkan beberapa orang untuk mencari desain masjid yang ada. Jadi diutus lah beberapa orang untuk melakukan perjalanan untuk mencari model bangunan. Setelah pulang mereka melaporkan ke Sultan, Sultan lantas memanggil arsitektur dari Belanda jadi disampaikanlah gambaran yang Sultan inginkan. Setelah disampaikan, inilah hasilnya jadi perpaduan antara Eropa, timur tengah, dan Asia yang juga ada lokal Melayu," tuturnya.
Menariknya, jika detikers perhatikan pada ornamen di dinding Masjid Raya yang berbentuk bunga. Diketahui, ada ornamen Tembakau Deli yang memiliki pengaruh cukup besar.
Gambaran ornamen ini terletak di dinding yang mengelilingi ruangan dengan bentuk daun tembakau bercat emas, tepat di sebelah jendela kecil.
"Ornamen mesjid ini diletakkan daun Tembakau Deli, untuk mengingatkan generasi muda kalau dulu Kesultanan Deli punya perkebunan tembakau Deli, dimana kualitas tembakaunya itu sangat mendunia. Itu juga beliau letakkan di masjid ini," kata Hamdan.
Sultan Ma'mun sendiri memiliki kemampuan keuangan lebih karena saat itu permintaan ekspor tembakau Deli sedang meningkat. Kondisi itu membuat Sultan Deli berkeinginan membangun fasilitas-fasilitas penting untuk kemajuan Kesultanan Deli. Pembangunan Masjid Raya Al-Mashun Medan menghabiskan biaya sebesar 1 juta gulden yang ditanggung oleh Kesultanan Deli.
Baca selengkapnya di halaman selanjutnya...
Sejarawan UINSU Hendri Dalimunthe yang menyebut bahwa ornamen tembakau Deli ini berkaitan dengan kejayaan Sultan Deli pada masa itu dalam melakukan penyewaan lahan tanah kepada para pengusaha industri tembakau Deli. Dari pundi-pundinya, ia pun berhasil membangun Masjid Raya dengan megah.
"Tembakau Deli ini pada masanya sangat bernilai dan mengubah wajah Kota Medan. Masjid Raya ini tak terlepas dari pengaruh industri tembakau dan juga bagian dari kebanggan Kesultanan Deli pada saat itu. Dengan uang yang didapatkan dari hasil sistem sewa tanah yang dibuat Kesultanan Deli dengan pemerintah dan pengusaha industri saat itu, beliau mendapat pendapatan yang cukup banyak. Dia bisa membangun kediamannya juga termasuk Masjid Raya yang berdiri hingga saat ini," jelasnya.
Ornamen lokal tak terlepas dari sejarah suatu daerah. Hendri menyebut ornamen lokal di Masjid Raya ini dapat menjadi bentuk kebanggaan warga Medan dan menjadi daya tarik bagi pengunjung.
"Lokalitas ini sangat mempengaruhi baik ornamen, kebudayaan yang ada di kota tertentu khususnya Kota Medan itu sangat mempengaruhi. Kalau kita bicara Masjid Raya, itu bukan hanya rumah ibadah saja tapi semacam kebanggaan warga Medan dan Sumut. Kalau orang yang ada di luar Sumut, kalau datang ke Medan tak lengkap jika tidak ke Masjid Raya," ucapnya.
Memori sejarah Masjid Raya Medan ini dapat dengan jelas dilihat hingga saat ini. Hal ini lantaran bangunan dan juga desain di masjid ini belum pernah direnovasi atau dirombak.
![]() |
"Nah kalau untuk masjidnya itu tidak ada perubahan dari sejak dibangun tapi ada perbaikan yang tidak mengubah bentuk masjid itu sendiri seperti penambahan kamar mandi pria dan wanita. Tetap dijaga bagaimana dibangun dulu sampai sekarang," pungkas Hamdan.
Hal ini juga dapat terlihat melalui makam-makam para sultan yang terjaga hingga saat ini. Hamdan bercerita bahwa ada dua area makam di wilayah Masjid Raya Medan, yaitu makam dalam yang menjadi lokasi tempat para sultan maupun kerabat sultan dimakamkan.
Ada satu makam berwarna kuning yang perlahan mulai usang namun tetap berdiri kokoh. Makam tersebut milik Tuanku Sultan Amaluddin Sani Perkasa Alamsjah. Sultan Deli ke-11 ini meninggal tepat hari Kemerdekaan Indonesia yaitu 17 Agustus 1945.
Simak Video "Bubur Sup Khas Masjid Raya Al-Mashun Medan dari Zaman Kesultanan"
[Gambas:Video 20detik]
(dpw/dpw)