Masjid Raya Al-Mashun, Tempat Curhat Rakyat Jelata kepada Sang Sultan

Cerita dari Masjid Raya Medan

Masjid Raya Al-Mashun, Tempat Curhat Rakyat Jelata kepada Sang Sultan

Kartika Sari - detikSumut
Sabtu, 25 Mar 2023 16:30 WIB
Masjid Raya Al Mahsun di Medan
Masjid Raya Al-Mashun di Medan. (Foto: Wahyu Setyo Widodo/detikcom)
Medan -

Suara azan berkumandang dari menara masjid itu. Para jemaah, mulai dari orang dewasa sampai anak-anak, laki-laki sampai perempuan, bergegas masuk ke dalam masjid.

Beberapa lainnya masuk ke ruang wudhu. Mereka membersihkan diri, sebelum melaksanakan salah ashar.

Waktu itu hari Kamis, 23 Maret 2023. Tepat dengan 1 Ramadan 1444 Hijriah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setiap kali Ramadan, masjid itu selalu ramai. Ada yang tadarusan seusai salat, ada yang beristirahat sembari menunggu berbuka, tak jarang pula wisatawan lokal maupun mancanegara yang hanya sekedar menengok-nengok masjid peninggalan Kesultanan Deli itu.

Nama masjid itu adalah Masjid Raya Al-Mashun atau Masjid Raya Medan. Masjid itu adalah peninggalan Kesultanan Deli. Bahkan, sampai saat ini, masjid itu masih menjadi tempat sultan menunaikan salat.

ADVERTISEMENT

Usai salat, para jemaah pun mendapat siraman rohani melalui tausyiah yang disampaikan oleh ustaz. Ya, setiap bulan Ramadan biasanya ada ceramah ustaz, setiap hari.

Dinginnya penyejuk udara di dalam Masjid Raya Al-Mashun membuat para jamaah tampak enggan keluar. Sambil menunggu berbuka, para jemaah melanjutkan membaca Al-Qur'an yang disediakan oleh pihak masjid.

Masjid menjadi tempat umat muslim untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Banyak yang membuat masjid sebagai sarana untuk berbagi ilmu agama ataupun mengenal sejarah tentang keislaman.

Salat Idul Adha di Masjid Raya MedanSalat Idul Fitri di Masjid Raya Medan Foto: Salat Idul Adha di Masjid Raya Medan. (Datuk Haris/detikcom).

Saat itu, tim detikSumut disambut oleh Hamdan, pengurus Masjid Raya Al-Mashun. Pria yang sudah mengabdi sejak puluhan tahun untuk mengurus masjid yang berdiri sejak tahun 1909 itu.

Hamdan bercerita bahwa masjid ini menjadi sejarah kedekatan Sultan Deli dengan rakyatnya. Di sinilah, rakyat dapat menyampaikan aspirasinya tanpa harus mendapat pengawalan ketat seperti di istana.

"Mungkin pada masa kesultanan dulu, jumpa sultan ini seperti jumpa presiden mesti bikin janji. Protokoler yang mesti kita lalui. Di sini lah kelebihan sultan untuk mendekatkan dirinya kepada rakyat pada masa itu. Beliau meluangkan waktu di masjid ini tanpa protokoler," ungkap Hamdan kepada detikSumut.

Walaupun dapat menjumpai sultan secara leluasa, namun Hamdan juga menyebut warga harus penuh dengan sopan santun dan beretika saat berdialog dengan sultan.

"Artinya dengan adab juga kita berbicara dengan seorang sultan dan sopan santun. Beliau meluangkan waktu untuk berdialog, keluhan masyarakat. Apa yang harus dibuat. Kalau di istana mereka segan, masjid inilah membuat tidak ada jarak sultan dengan rakyat dengan sopan santun. Pada masa itu, siapa yang punya masalah ataupun pribadi bisa dilakukan (diceritakan) di sini," ujarnya.

Baca selengkapnya di halaman selanjutnya...

Hamdan kemudian mengajak untuk mengobrol di teras masjid. Ia bercerita bahwa ada beberapa lokasi favorit tiap era kesultanan di Masjid Raya itu.

Hamdan yang sudah mengabdi tiga era kesultanan pun melihat tiga kebiasaan sultan saat berada di masjid raya ini. Sebagai contoh, Sultan Azmy Perkasa yang memiliki kebiasaan salat Jumat di luar. Beliau lebih nyaman saat salat di teras masjid.

"Kalau sultan itu tergantung, beda-beda tiap zamannya. Kalau Sultan Azmy itu dia jumatan tidak mau ruangan dalam, dia ambil bagian teras kecil," kenangnya.

Berbeda dengan Sultan Azmy, Hamdan menyebutkan bahwa Sultan Mahmud Lamanjiji memilih area salat di sebelah mimbar khatib, ia tidak terlalu sering salat di belakang imam.

"Nah yang sekarang beda lagi, beliau mau di dalam tapi tidak mau di depan. Beliau mau di dekat mimbar sebelah kanan, mimbar khatib tapi tidak mau mencolok kadang beliau ambil sebelah kiri jauh dari mimbar. Beliau tidak mau langsung di belakang imam," jelasnya.

Sultan Otteman Mahmud atau sultan ke-13 jarang terlihat di masjid baik salat Jumat maupun hari besar keagamaan. Hal ini akan digantikan oleh pihak perwakilan istana.

"Kalau yang Sultan ke-13 itu, kita jarang ketemu beliau karena almarhum ini kan tentara, jadi tugasnya entah di mana-mana jadi jarang kita ketemu. Jadi kadang salat Id pun beliau tidak bisa hadir karena tugas, jadi nanti ada pemangku sultan yang mewakili. Jadi 12-13-14 yang saya sendiri sudah ketemu langsung," ucapnya.

Gaya Arsitektur Masjid Raya Al-Mashun di Medan.Makam Sultan Deli di Masjid Raya Al-Mashun di Medan. (Foto: Ashanul Hikmah/detikSumut)

Namun begitu, pihak Sultan harus berada di tempat utama apabila harus menerima kunjungan presiden ataupun menteri. Perlu diketahui, walaupun Indonesia saat ini sudah merdeka, namun peran kesultanan masih diakui dalam mengikuti berbagai acara seperti acara kebudayaan dan juga penobatan.

"Sultan hingga saat ini diakui negara karena memang peran mereka sangat diperlukan. Sampai hari ini, pewaris Kesultanan Deli banyak dilibatkan pemerintah kota dan Provinsi dalam hal kegiatan sosial kebudayaan. Peran sultan hari ini hanya sebatas mewarisi tradisi kerajaan tapi dia punya pengaruh di kelompok tertentu. Peran sultan hari ini dan dulu memang sangat berbeda, tapi dengan konteks merdeka saat ini, negara masih mengakui mereka," kata sejarawan UINSU Hendri Dalimunthe.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Gaya Jokowi Kenakan Pakaian Kesultanan Deli di Upacara Harlah Pancasila"
[Gambas:Video 20detik]
(dpw/dpw)


Hide Ads