Namun, ternyata pembelian uang baru ini masih menjadi perdebatan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Dewan Syariah Nasional (DSN) sudah memberikan fatwa nomor 28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (Al-Sharf).
Dilansir melalui website Universitas Muhammadiyah Surabaya, salah satu pertimbangan dalam pembelian untuk penularan mata uang ini dikenal beberapa bentuk transaksi yang status hukumnya dalam pandang ajaran Islam berbeda antara satu bentuk dengan bentuk lain.
Adapun syarat harus memenuhi beberapa ketentuan berikut:
- Tidak untuk spekulasi (untung-untungan)
- Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan)
- Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (attaqabudh)
- Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.
Dosen Perbankan Syariah Fakultas Agama Islam (FAI) UM Surabaya Arin Setyowati mengungkapkan bahwa apabila saat penukaran tidak ada penambahan uang dari pecahan uang baru yang ditukar ataupun pengurangan terhadap jumlah uang pecahan maka hukumnya boleh.
"Tapi, jika dalam penukaran uang tersebut ada perbedaan jumlah yang diterima atau diberikan oleh kedua belah pihak dalam mata uang yang sama dalam keadaan tunai, maka hukumnya haram dan termasuk kategori praktik riba dalam keadaan tunai. Yakni kategori Riba Fadhl," ungkap Arin.
Ia pun mencontohkan apabila A menyerahkan uang Rp 1 juta untuk ditukarkan dengan pecahan uang baru senilai Rp 1 juta, namun uang yang diterima hanya Rp 970 ribu saja.
Namun, jika uang yang ditukarkan tidak sama maka kembali pada prinsip hukum asalnya yakni diperbolehkan, sebagaimana ketentuan umum di awal poin keempat.
"Misal menukarkan uang rupiah dengan dollar, maka transaksinya dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku saat transaksi dilakukan dan secara tunai. Mengingat bahwa pertukaran tersebut terjadi antara komoditas dengan alat pembayar," pungkas Arin.
(astj/astj)