Tugu Ampera dan Cerita Warga Desa Kolam Diasingkan gegara Distigma PKI

Sumut in History

Tugu Ampera dan Cerita Warga Desa Kolam Diasingkan gegara Distigma PKI

Goklas Wisely - detikSumut
Minggu, 01 Okt 2023 21:51 WIB
Tugu Ampera di Desa Kolam, Deli Serdang
Foto: Tugu Ampera di Desa Kolam, Deli Serdang (Goklas/detikSumut)
Deli Serdang -

Tugu Amanat Perjuangan Rakyat (Ampera) menjadi salah satu tanda bahwa kemelut tragedi lubang buaya, atau yang disebut Soekarno dengan gerakan satu Oktober (Gestok), berimbas hingga ke wilayah Sumatera Utara.

Di dalam tragedi itu, Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dipimpin Dipa Nusantara Aidit disebut ingin menggulingkan pemerintahan Presiden Soekarno dengan membunuh enam jendral dan satu perwira.

Pascakejadian itu gerakan ganyang PKI mencuat di sejumlah daerah, termasuk di Kota Medan dan sekitarnya. Tugu Ampera pun menyimpan kisah tersendiri tentang peristiwa itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kampung Kolam Diserbu

Tugu yang berlokasi di Desa Kolam, Kabupaten Deli Serdang, ini masih berdiri kokoh, berada di dekat parit dan di belakangnya terdapat hamparan sawah.

Seorang penulis bernama Ismail Pong, yang lahir di Desa Kolam, pun menceritakan secara singkat kisah di balik Tugu Ampera di dalam bukunya berjudul Muleh.

ADVERTISEMENT

Pada masa itu, Desa Kolam yang awalnya disebut Kampung Kolam disinyalir sebagai tempat persembunyian dan berkembangnya PKI.

Hal itu didasari karena adanya aktivitas organisasi Barisan Tani Indonesia (BTI) yang merupakan sayap PKI. BTI ini kemudian disebut menghasut dan memasukkan ideologi Komunis kepada petani dan buruh perkebunan asal Jawa. Desa itu pun diduga sebagai basis PKI.

Alhasil, Pemuda Pancasila dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) masuk dan menyerbu Kampung Kolam untuk menumpas PKI pada 25 Oktober 1965. Namun upaya itu mengalami kegagalan dan mengakibatkan dua orang tewas, yakni M Jacop dari PP dan Adlin Prawira dari PP/HMI.

"Jenazah keduanya ditemukan dalam parit Kobah di Dusun Sukmo. Sebagai bentuk penghormatan atas keduanya, dibangun lah Tugu Ampera di pinggir parit tersebut," tulis Ismail di dalam bukunya.

Jacop dan Adlin Diculik dan Dibunuh

Sejarawan Kota Medan, M Azis Rizky Lubis, menjelaskan memang operasi ganyang PKI mulai menguat pasca tragedi Lubang Buaya. Sejumlah kelompok yang pro pemerintah mulai bergerak untuk melakukan sweeping di sejumlah daerah yang disinyalir basis PKI.

"Memang anggota PKI di Medan dan sekitarnya cukup besar. Hal itu ditandai ada 15 ribu orang yang datang ke Lapangan Merdeka untuk merayakan ulang tahun PKI pada tahun 1960-an," ucapnya.

Aziz menyebutkan, wilayah yang disasar ialah lokasi perkebunan dan pertanian. Kampung Kolam, yang berada cukup jauh dari perkotaan, menjadi daerah yang sangat dicurigai karena sangat memungkinkan menjadi basis PKI.

Masa itu, Jacop dan Adlin merupakan tokoh yang cukup bersuara lantang mengumandangkan untuk membumi hanguskan PKI.

Keduanya diculik oleh kader PKI dan dibawa ke Kampung Kolam. Lalu, keduanya dibunuh dan mayatnya ditemukan di parit.

"Si Adlin diculik di sekitar Jalan Serdang dan Si Yakub di daerah Titi Sewa. Dua orang ini tokoh yang cukup vokal dan berperan cukup sentral untuk menumpas PKI. Tugu itu kemudian dibangun untuk mengenang keduanya," ujarnya.

Aziz mengungkapkan, yang perlu diperhatikan melihat peristiwa itu sebetulnya ada warga Kampung Kolam yang tanpa sadar menjadi anggota PKI. Pasalnya, model perekrutan PKI tak jarang dibalut dengan pemberian alat untuk bercocok tanam serta kebutuhan pangan.

"Jadi misalnya warga diberikan cangkul, arit, beras, dan kebutuhan lainnya. Lalu, warga menandatangani sebuah surat tanda terima. Dari situ pula warga disebut anggota PKI. Tapi di samping itu memang ada pula yang secara sadar mengikuti PKI," ucapnya.

Baca selengkapnya di halaman berikut...

Warga Kampung Kolam Distigma PKI

Kepala Desa Kolam Jupri Purwanto mengungkapkan Tugu Ampera lebih akrab disebut warganya dengan Tugu Pemuda Pancasila. Pasalnya, tugu itu dibangun untuk mengenang dua kader PP yang tewas dibunuh warga setempat.

Berdasarkan kesaksian orang tua terdahulu yang didapatnya, memang situasi sangat mencekam pascakejadian itu. Upaya dari pemerintah untuk membersihkan desa dari pengaruh PKI gencar dilakukan. Bahkan itu ditandai dengan diangkatnya kepala desa dari kalangan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

"Jadi sehari setelah pembunuhan itu, rumah warga di-sweeping. Ada beberapa yang dianiaya dan sejumlah warga yang terlibat dengan PKI melarikan diri dari desa. Pastinya, warga di sini tak berani keluar rumah hingga ada yang bersembunyi di sawah," sebutnya.

Namun yang menjadi persoalan kemudian bukan detik-detik menegangkan itu. Tapi stigma yang dilekatkan kepada warga Desa Kolam sehingga merasa diasingkan. Warga setempat sulit menduduki jabatan dan mencari pekerjaan.

Sedangkan generasi muda banyak berhenti sekolah karena kaum tua menganggap pendidikan tidak lagi menjadi prioritas. Sebab, timbul di benak kaum tua setinggi apa pun anaknya sekolah pasti tidak akan mendapatkan pekerjaan yang layak.

"Warga di sini merasa ditinggal, diasingkan, dan tidak mendapat perhatian karena latar belakang yang kelam itu. Warga Desa Kolam jadi dikenal orang sangat tertinggal dari segala hal," ungkapnya.

Memasuki masa reformasi di tahun 1998, baru lah warga Desa Kolam dapat menghirup udara segar dari kesesakan stigma PKI yang ditempel sejak 1965. Artinya, lanjut Jupri, warga Desa Kolam mendapatkan hak untuk diperlakukan sama dengan masyarakat pada umumnya.

"Cerita kau anak PKI berangsur menghilang. Selain itu, pola pikir kaum tua turut berubah, salah satunya menganggap pendidikan itu penting. Namun pandangannya bukan lagi mengejar untuk menjadi PNS atau TNI-Polri. Tapi bagaimana mendapatkan ilmu untuk menggali potensi diri," jelasnya.

Jupri menyebutkan pihaknya berupaya memunculkan hal positif untuk lepas dari stigma. Mulai dari pemerintah desa hingga generasi muda berjalan beriringan untuk menunjukkan kreatifitasnya. Sehingga Desa Kolam lambat laun dipandang positif.

"Satu per satu anak muda di sini sudah ada yang jadi PNS, masuk ke Polri, menjadi akademisi, hingga lainnya. Jadi itu atas kerja keras bersama untuk melawan stigma itu," tuturnya.

Dia pun berharap kepada publik bahwa peristiwa kelam itu telah berlalu dan telah telah menjadi sejarah yang mewarnai desa. Ia berpandangan masyarakat tidak dapat berkutat di sejarah itu saja.

"Kita dituntut untuk terus bergerak maju seperti masyarakat yang lain. Oleh karena itu, khusus untuk warga Desa Kolam harus menatap ke depan dengan keyakinan bahwa ada banyak perubahan yang bisa kita lakukan," tutupnya.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video: Viral Pria di Deli Serdang Beli Sekarung Beras Pakai Ijazah SD"
[Gambas:Video 20detik]
(afb/afb)


Hide Ads