Berlin dengan telaten memutar-mutar batang bambu yang dipanaskan di atas perapian. Pria berusia 65 tahun itu, memastikan setiap sisi bambu mendapatkan panas merata. Api yang digunakan memanaskan sisi bambu juga tidak terlalu menyala. Namun tetap panas dengan asap yang mengepul.
Di dalam bambu tersebut ada beras ketan yang sudah direndam dengan perasan kelapa atau santan. Berlin memastikan makanan yang disebut lomang atau lemang tersebut tidak gosong. Karena jika gosong, rasanya tidak enak dan terasa keras untuk dikunyah.
Berpuluh tahun Berlin melakukan kebiasaan memasak lemang saat menjelang lebaran. Oleh warga sekitar di Mandailing disebut mangalomang atau membuat lemang. Tradisi membuat lemang menjelang lebaran sudah menjadi kebiasaan yang menyempurnakan sukacita lebaran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berlin, yang merupakan warga di Desa Bangkelang, Kecamatan Batang Natal, Kabupaten Mandailing Natal (Madina) ini menyebut tradisi itu setiap tahun. Dia mengaku, mangalomang sudah menjadi wajib dilakukan sebelum lebaran. Bahkan, menurutnya, jika tak memasak lemang, euforia menyambut Hari Raya Idul Fitri terasa berkurang.
"Setiap tahun wajib itu, kalau tidak mangalomang, nggak lengkap rasanya," ujarnya kepada detikSumut, Jumat (21/4/2023).
Lemang tersebut akan disajikan saat perayaan lebaran, sebagai jamuan untuk tamu yang datang bersilaturahmi ataupun saat berkumpul bersama keluarga. Membuat lemang di Mandailing bukan hal baru.
Namun tidak diketahui pasti sejak kapan warga memulai tradisi membuat lemang. Yang pasti, warga membuat lemang dengan beras ketan lokal serta santan yang diperah dari kelapa lokal juga sudah sejak puluhan tahun silam.
Mangalomang biasanya dilakukan warga sehari sebelum perayaan Idul Fitri. Makanan ini berupa beras ketan dan santan yang dimasukkan ke dalam bambu yang telah dilapisi daun pisang.
Setelah dimasukkan, bambu tersebut dibakar menggunakan kayu atau tempurung kelapa, dengan posisi berdiri. Biasanya warga memasak lemang atau lomang itu di luar rumah. Sehingga tidak heran, saat membuat lemang sesama tetangga juga ada interaksi.
Setelah matang, lemang ini terlebih dahulu didinginkan hingga akhirnya bisa disantap. Belakangan warga biasa menyajikan lemang dengan sirop, ketan hitam, potongan gula merah atau yang lainnya. Meski identik untuk menyambut Hari Raya Idul Fitri, sebagian warga juga melakukan tradisi mangalomang ini saat menyambut Hari Raya Idul Adha.
Berlin mengaku memasak lemang itu sangat disukainya. Sebab, lemang tersebut akan diberikannya untuk anak, cucunya yang pulang dari perantauan. Selain itu, lemang tersebut juga akan disajikannya untuk saudara-saudaranya yang akan datang bertamu.
"Anak-anak dan cucu saya sangat suka lemang ini, biar nanti dimakan sama mereka. Nanti juga untuk saudara-saudara yang datang untuk silaturahmi," jelasnya.
Warga lainnya bernama Ahmad (40) mengaku dirinya bisa saja membeli lemang dari pedagang. Namun, menurutnya memasak lemang sendiri mempunyai kenikmatan tersendiri. Sekalipun proses mangalomang atau membuat lemang tidak sesederhana membakar bambu. Karena harus memastikan semua bagian bambu mendapat panas merata.
Namun bagi Ahmad hal tersebut menjadi keseruan tersendiri. Menunggui perapian sambil berbincang - bincang dengan tetangga sekitar yang juga ikut mangalomang atau membuat lemang. Apalagi tradisi ini biasanya hanya dilakukan sekali setahun.
"Bisa saja kami beli di pedagang, tapi rasanya mangalomang sendiri lebih nikmat. Apalagi ini kan cuma sekali setahun," ujarnya.
Dia mengaku mangalomang itu juga menjadi salah satu bentuk upaya untuk melestarikan budaya. Ahmad berharap tradisi seperti ini harus terus dilakukan.
"Tradisinya bagus ini. Mudah-mudahan anak-anak muda nantinya terus melakukan tradisi ini," ungkap Ahmad.
(bpa/bpa)