Suasana meriah terasa di Desa Jantuk, Kecamatan Sukamulia, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), Selasa (1/4/2025). Sejumlah warga menunggangi kuda beriringan. Ini merupakan tradisi Tiyu yang digelar dua hari pada momen Lebaran, yakni pada 1 dan 2 Syawal.
Pantauan detikBali, Senin pagi, masyarakat Desa Jantuk memadati jalan raya dengan panjang sekitar 500 meter yang dijadikan sebagai lintasan kuda. Anak-anak hingga orang dewasa, baik laki-laki maupun perempuan terlihat sangat antusias menyaksikan pawai kuda.
Kata 'tiyu' berasal dari bahasa desa setempat yang berarti pawai menggunakan kuda. Tradisi ini bermaksud untuk memeriahkan datangnya bulan Syawal dan menyambut kemenangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pawai kuda ini selalu kami laksanakan sejak dulu oleh para pendahulu kami di Desa Jantuk rutin setiap tahunnya sampai sekarang, waktunya mulai dari sore kemarin selesai salat Id, kemudian hari ini dimulai pagi hari, tujuannya untuk memeriahkan hari Idul Fitri," jelas Sekretaris Desa Jantuk Azizul Hakim ketika ditemui detikBali, Selasa.
Ada beragam versi mengenai asal-muasal tradisi Tiyu. Sebab, tidak ada bukti maupun catatan sejarah yang menjelaskan hal tersebut. Namun, pendapat yang paling kuat menyebutkan tradisi Tiyu ini berkaitan langsung dengan Kerajaan Sumbawa ketika terjadi peperangan melawan kerajaan Karangasem, Bali.
"Menurut penuturan para orang tua kami di Desa Jantuk, tradisi Tiyu ini dilakukan ketika menyambut kemenangan dulu ketika suku Sasak diserang oleh Kerajaan Karangasem dari Bali. Ketika itu suku Sasak dibantu oleh Kerajaan Sumbawa, sehingga saat itulah muncul tradisi ini dan dilakukan rutin ketika Lebaran Idul Fitri," cerita Hakim.
Menurut Hakim, tradisi Tiyu dilaksanakan ketika momentum Idul Fitri juga punya makna untuk menyambut kemenangan setelah satu bulan penuh melawan hawa nafsu dan menahan diri dari makan dan minum.
Pada Lebaran tahun ini ada sekitar 280 ekor kuda yang ditunggangi oleh para peserta. Mereka terdiri dari remaja dan dewasa yang merupakan penduduk desa setempat.
"Kuda-kuda ini kami datangkan dari desa luar Lombok Timur, ada yang dari Lombok Barat dan juga Lombok Utara, tidak semuanya berasal dari desa di sini," kata Hakim.
Dia mengungkapkan masyarakat yang akan menjadi peserta mendatangkan kuda sendiri dengan menyewa kuda dari pemiliknya. Sebab, di Desa Jantuk banyak yang tidak memiliki kuda.
"Mereka menyewa kuda dari luar supaya bisa ikut berpartisipasi, kadang satu kuda itu disewa oleh dua atau tiga orang, karena dominan masyarakat di sini tidak memiliki kuda," ujar Hakim.
Saking pentingnya tradisi ini, Hakim melanjutkan, masyarakat Desa Jantuk lebih mengutamakan uangnya untuk menyewa kuda, ketimbang membeli baju Lebaran.
"Mereka sudah menabung jauh-jauh hari hanya untuk menyewa kuda, masyarakat disini lebih memprioritaskan sewa kuda ketimbang membeli baju Lebaran, besaran sewa kuda ini bervariasi, mulai dari Rp 2 juta hingga tertinggi Rp 5 juta," tutur Hakim.
Bahkan, antusiasme tinggi masyarakat Desa Jantuk mengikuti tradisi Tiyu ini, mereka rela untuk mudik hanya untuk bisa menunggangi kuda di momentum Lebaran.
"Tidak kenal profesi, semua warga di sini sangat antusias, bahkan ada yang mudik hanya untuk bisa menunggang kuda ketika tradisi Tiyu ini," imbuh Hakim.
(hsa/hsa)