Kampung Al Munawar atau dikenal juga dengan nama Kampung Arab pernah menjadi primadona wisata di Palembang. Terutama sejak statusnya menjadi cagar budaya hingga tersohor ke mancanegara.
Kampung Al Munawar berlokasi di RT 24 RW 2, Kelurahan 13 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu (SU) II, Palembang. Kampung ini ditetapkan sebagai cagar budaya berdasarkan SK Walikota Palembang yang dilindungi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Terdapat beberapa Rumah Bingen yang dilestarikan. Salah satunya adalah Rumah Kembar Darat. Menurut informasi di sana, rumah ini dibangun pada abad ke-18 oleh Abdurrahman Al Munawar untuk anak keempatnya, Al Habib Hasan Al Munawar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Kepada detikSumbagsel, Ketua RT 24 Yusuf Ja'far (54) berbagi kisah kehidupan warganya setelah kampung tempat tinggal mereka sejak leluhur viral dijadikan kampung wisata. Menurutnya, warga kembali hidup normal dan tenang.
"Kehidupan kami kembali normal seperti sebelum viral. Hanya sesekali ada wisatawan yang datang. Disebut buka (sebagai kampung wisata) sudah tidak, tapi disebut tutup juga kami tetap terbuka," ungkapnya, Minggu (27/10/2024).
Salah satu keturunan Al-Munawar itu menyebut, pihaknya tak masalah dengan penetapan kampung tersebut sebagai cagar budaya yang memang disetujui para leluhurnya. Namun, ketenaran kampung Al-Munawar yang sempat menjadi tempat wisata tersebut beberapa kali mengundang ketidaknyamanan warga.
"Untuk cagar budayanya, kami tidak masalah karena memang untuk melestarikan kampung kami yang sudah didiami leluhur sejak dulu. Namun ternyata juga dijadikan kampung wisata, itu yang ternyata setelah dijalani tidak cocok dengan tradisi kami," ujarnya.
Beberapa pengunjung datang tanpa mengindahkan aturan yang diimbau pihaknya, seperti pakaian yang tidak menutup aurat atau berfoto dengan pasangan yang bukan muhrimnya. Hal itu, kata dia, bertentangan dengan tradisi Islam yang masih kental dipegang teguh warganya.
"Beberapa kali ada pengunjung datang dan foto berduaan dengan pacar, kalau memang keluarga kami tidak masalah. Tak jarang juga turis menggunakan pakaian terbuka," ungkapnya.
Pada masa tingginya jumlah pengunjung wilayah tersebut sekitar tahun 2018, dia mengatakan warga merasa kurang nyaman keluar rumah. Angka wisatawan kemudian menurun saat terjadi pandemi di tahun 2020.
"Dulu ramai sekali, ada tarifnya, pintu dermaga pun dibuka, pemandangan kami saat keluar rumah dipenuhi pengunjung. Setelah pandemi, sudah tidak ada lagi yang datang, hanya sesekali," katanya.
Kini, kampungnya masih beberapa kali didatangi pengunjung meski pintu dermaga telah ditutup untuk umum. Dia menyebut, pihaknya tidak melarang adanya tamu yang datang untuk sekadar melihat.
"Kami tetap welcome jika ada yang datang, namanya juga tamu. Jika ada yang datang dengan baju terbuka, warga akan langsung menegurnya," ujarnya.
(des/des)