Bidar merupakan perlombaan mendayung perahu yang berasal dari Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel). Seni dayung tradisional ini sudah ada sejak zaman dahulu kala hingga sekarang. Karena itu, ada legenda di balik kemunculan lomba bidar di Palembang.
Lomba bidar digelar satu tahun sekali pada perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus. Perlombaan ini berlangsung di Sungai Musi. Berdasarkan cerita turun-temurun, bidar singkatan dari biduk (perahu) lancar.
Perahu ini memiliki bentuk khusus yang pada masa silam digunakan oleh petugas penghubung atau kurir. Bentuknya kecil dan hanya muat untuk satu orang. Kini, perlombaan bidar sudah menggunakan perahu besar yang dapat didayung oleh belasan hingga puluhan orang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Legenda Asal Mula Lomba Bidar
Menurut B Yass dalam buku Cerita Rakyat dari Sumatera Selatan, kemunculan lomba bidar bermula dari peristiwa Dayang Merindu. Ia adalah seorang gadis berparas rupawan yang tinggal di hulu Kota Palembang.
Dayang Merindu dikenal sebagai anak tunggal yang ramah dan pandai bersosialisasi. Ayahnya bernama Sah Denar yang bersahabat dengan Tua Adil, teman satu kampung yang kaya raya dan mempunyai anak laki-laki bernama Dewa Jaya.
Persahabatan antar ayah ini memberikan kesempatan untuk Dayang Merindu dan Dewa Jaya berteman. Beranjak remaja, Dewa Jaya dikirim orang tuanya ke beberapa negara untuk belajar ilmu bela diri, terutama pencak silat.
Dewa Jaya Ingin Mempersunting Dayang Merindu
Bertahun-tahun menimba ilmu di tanah orang, Dewa Jaya pulang kampung dengan perawakan lebih tampan. Saat itu pula ia melihat Dayang Merindu dan jatuh hati kepada teman kecilnya ini. Dewa Jaya meminta kepada orang tuanya untuk melamar Dayang Merindu.
Kabar lamaran dari Dewa Jaya sampai ke telinga Sah Denar dan istri. Mereka penuh hasrat kebahagiaan ketika mengetahui anak Tua Adil ingin melamar putri semata wayangnya. Ia pun menyampaikan kepada Dayang Merindu bahwa Dewa Jaya akan datang untuk menyatakan lamaran. Tanpa banyak basi-basi, Dayang Merindu memberikan jawaban dengan lemah lembut.
"Mohon ampun pada ayah dan bunda. Belum tersirat rasa cinta di hati saya terhadapnya. Oleh karena itu, saya belum mau mengatakan bersedia jadi istrinya. Namun, jika ayah dan bunda memaksa, saya tidak akan durhaka pada orang tua."
Penolakan halus ini membuat hati Sah Denar dan istrinya seolah teriris. Walau begitu, mereka berusaha berpikir positif bahwa keputusan putrinya menolak lamaran karena masih usia 19 tahun dan rasa belum tumbuh rasa cinta.
Tibalah Dewa Jaya ke rumah Dayang Merindu. Percakapan lamaran pun terlontarkan dari mulut Tua Adil. Dijelaskan bahwa lamaran Dewa Jaya akan diterima dalam bentuk ikatan pertunangan.
Muncul Pemuda Bernama Kemala Negara
Di sebuah kampung di hilir Kota Palembang, ada seorang pemuda bernama Kemala Negara. Ia merupakan anak keluarga petani di tepi Sungai Musi yang sudah lama merantau ke negeri lain untuk belajar ilmu bela diri.
Suatu hari di pinggir Sungai Musi, Dayang Merindu sedang mandi bersama teman-temannya. Mereka melihat sebuah cawan tembaga hanyut terapung dari hulu. Kemala Negara berenang ke tengah sungai untuk mengambil cawan itu.
"Biasanya, cawan dan bunga serta minyak yang wangi seperti ini adalah bahan keramas cuci rambut wanita," kata Kemala Negara.
Teman Kemala pun mengiyakan. Ia mengatakan benda keramas tersebut milik wanita kaya raya atau anak bangsawan.
"Benar. Apa gerangan sebabnya benda seanggun dan semahal ini bisa hanyut? Mungkin ada pria jahat yang mengganggu wanita yang sedang keramas itu. Kita harus berusaha mengembalikannya," ujarnya kembali.
"Benar. Carilah siapa pemiliknya, Kemala! Mana tahu nasib baik, pemiliknya masih gadis dan cantik pula. Sepadan dengan kau," kata temannya.
Kemala Negara Mencari Pemilik Cawan
Cawan tembaga yang ditemukan di tengah sungai disimpan tanpa mengusik isinya. Hari itu pula, ia berangkat menuju hulu Sungai Musi sendirian. Dua hari ia berlabuh untuk mencari jawaban siapa pemilik cawan misterius ini.
Kemala Negara bertemu dengan seorang gadis yang sedang mengambil air. Ia menanyakan pemilik dari cawan itu. Gadis tersebut membenarkan cawan tersebut milik temannya, Dayang Merindu yang hilang tiga hari lalu.
"Dia keramas mencuci rambutnya. Diletakkan cawan ini di rakit dan kami mandi bermain siram-siraman. Dia sangat risau karena cawannya hanyut," kata gadis itu.
"Terima kasih. Tolonglah adik kembalikan padanya," sambut Kemala Negara.
Gadis tersebut kagum melihat pemuda tampan di hadapannya. Ia pun berkata:
"Tuan muda sendirilah yang mengembalikanya. Itu rumahnya, di hulu situ. Pasti dia sangat berterima kasih," pinta gadis itu.
"Ah, tolong kembalikanlah, dik. Saya khawatir nanti kalau-kalau dia mengira cawannya ini saya ambil begitu saja," timpal Kemala Negara.
"Tidak, tuan muda. Dayang Merindu itu gadis paling rupawan di seluruh kampus gini. Ia sangat rendah hati dan ramah. Tuan muda sudah menemukan cawan ini dan dua hari menyusuri sungai dari hilir ke hulu sini," jelas gadis itu.
Kemala Negara menolak untuk mengantarkan cawan tembaga itu. Gadis itu berusaha mencari cara agar Kemala dapat memberikan cawan secara langsung.
"Sebentar lagi saya akan ke rumahnya. Kami akan mandi ramai-ramai petang ini. Nanti saya ceritakan semua kepadanya. Tuang muda tunggu kami di tepi semak jalan ke tepian mandi. Nanti, serahkanlah langsung kepadanya," ucap gadis itu.
Kemala Negara setuju dengan rencana itu. Ditambatkan perahunya di dekat semak belukar. Ia pun mengikuti rencana gadis tersebut dan menunggu di tepian mandian. Ketika dilihatnya, gadis tadi datang bersama empat gadis lain. Dapatlah ia menduga yang mana gerangan Dayang Merindu.
Pertemuan Kemala Negara dan Dayang Merindu
Ketika saling pandang dari jarak agak jauh, Dayang Merindu merasakan getaran dalam hatinya. Ia kagum melihat Kemala Negara yang bertubuh kekar dan tampan. Gadis itu pun mengenalkan Dayang Merindu dengan Kemala Negara.
Rasa penasaran Kemala Negara sirna. Ia membungkuk sebagai tanda hormat. Dayang Merindu pun berkata:
"Temanku ini sudah menceritakan semua. Alangkah tingginya baik budi tuan telah menemukan dan sudi bersusah payah mengantarkan cawan ini," ujar Dayang Merindu dengan lemah lembut.
"Maaf putri jelita. Terimalah cawan ini. Saya bahagia karena telah mengembalikannya," jawab Kemala.
Dayang Merindu menyambut cawan tersebut. Seraya memegang cawan, ia pun berujar:
"Dengan apa gerangan saya dapat membalas baik budi tuan?" tanyanya.
Kemala Negara tak berkuti, ia diam seribu bahasa. Darahnya bak diterpa gemuruh. Keduanya saling merasakan api cinta pandangan pertama yang bergelora di dalam jiwa.
Dayang Merindu sadar dan tersipu malu ketika menarik cawan tersebut. Temannya yang sudah maklum sengaja menjauh. Kemudian, kedua remaja yang sedang jatuh cinta ini berbincang-bincang.
"Silahkan mandi. Teman-teman sudah menanti. Bolehkan kita bersua lagi," ujar Kemala Negara.
"Saya juga ingin berkata begitu. Dapatkah kita bersua lagi? Kami mandi dua kali sehari. Tunggulah di jalan ini," jawab Dayang Merindu.
Kemala Negara pun memutuskan untuk lebih lama singgah di kampung Dayang Merindu. Selama tiga hari ia tinggal dan bersua dengan Dayang Merindu di waktu mandi.
Kemala Negara Melamar Dayang Merindu
Setelah tiga hari mencari pemilik cawan tembaga dan menemukan tambatan hati, Kemala Negara berniat untuk melamar Dayang Merindu. Ia memita kepada orang tuanya untuk melamar gadis yang ditemuinya beberapa hari lalu.
Datanglah Kemala Negara ke rumah Sah Denar. Orangtuanya membicarakan niat baik mempersunting putri semata wayang Sah Denar. Alangkah kecewa Kemala Negara ketika mendengar penolakan dari calon mertuanya karena Dayang Merindu sudah bertunangan.
Amarah yang muncul tak terbendung. Kemala Negara menantang Dewa Jaya untuk bertanding. Dewa Jaya menolak. Keduanya menghadap datuk kampung untuk menyatakan keinginan bertanding. Siapa yang menang dialah yang berhak jadi suami Dayang Merindu.
Pertandingan pun diumumkan ke seluruh kampung. Semua penduduk berkumpul dan menyaksikan perebutan hati Dayang Merindu. Sementara itu, Dayang Merindu sendiri tidak ingin keluar rumah, Ia sangat cepat kalau pujaan hatinya kalah.
Setengah hari penuh kedua pemuda itu bertanding pencak silat. Ternyata tak ada yang kalah. Karena itu, Datuk memutuskan pertandingan dialihkan pada lomba bidar. Siapa yang lebih dulu mencapai garis finis, dialah pemenangnya.
Lomba Bidar untuk Dayang Merindu Digelar
Hari yang dinanti pun tiba. Seluruh penduduk menyaksikan di tepi Sungai Musi. Kedua pemuda itu mendapatkan sebuah perahu bidar kecil. Seluruh penduduk berdebar-debar menyaksikan pertandingan ini karena kedua pemuda sama kuatnya.
Keduanya menggunakan tenaga dalam yang dilatih sejak dulu. Ternyata keduanya mencapai garis finis secara bersamaan. Penonton yang hadir semakin cemas karena melihat keduanya pemuda tertelungkup di perahu masing-masing. Ketika diperiksa, keduanya sudah tidak bernyawa lagi.
Mendengar berita itu, Dayang Merindu meninggalkan rumah. Ia datang ke pendopo tempat kedua mayat pemuda dibaringkan. Dia berdiri menghadap sang Datuk yang duduk di kursi kehormatan dekat kedua mayat itu. Dengan penuh hormat, Dayang Merindu berucap:
"Saya dan Kemala Negara saling mencita. Akan tetapi, saya tahu Dewa Jaya juga sangat mencintai saya. Cintanya direstui oleh orang tua saya. Sekarang keduanya sudah menjadi mayat. Keduanya bertarung untuk memperebutkan saya. Saya ingin berlaku adik terhadap keduanya. Mohon agar datuk belah tubuh saya menjadi dua. Yang sebelahnya mohon dikuburkan bersama Kemala Negara dan lainnya untuk Dewa Jaya. Saya ingin berlaku adil terhadap keduanya. Mohon agar Datuk membela tubuh saya menjadi dua," pinta Dayang Merindu dengan suara merintih.
Penduduk yang datang serta Datuk pun terpana mendengar keputusan Dayang Merindu itu. Sebelum mereka sempat berkata dan berbuat sesuatu, tangan kanan Dayang Merindu yang sejak tadi memegang sebilah pisau yang diolesi racun terayun cepat. Ujung pisau menusuk dadanya. Dia rebah dan tewas di tempat itu.
Menurut cerita, seluruh penduduk sagat menghormati dan menyanjung Dayang Merindu yang berani berlaku adil terhadap pemuda yang mencintainya. Karena itu, lomba bidar begitu berharga bagi mereka sehingga sering digelar untuk memperingati sosok Dayang Merindu. Lalu bagaimana keaslian dari legenda ini?
Kesimpulan dari Legenda Asal Usul Lomba Bidar
Berdasarkan buku yang dikutip, cerita asal mula lomba bidar di atas hanyalah legenda belaka dan tidak dipercaya pernah terjadi sebelumnya. Walau begitu, tempat Dayang Merindu mandi berkeramas sampai sekarang bernama Kampung Keramasan.
Kisah Dayang Merindu masih terus disimpan hingga sekarang. Kisah ini kerap dipentaskan dengan tari, melambangkan kecantikan, kejujuran, penghormatan pada orang tua dan kemampuan bertindak adil terhadap orang yang berkorban jiwa karena rasa cinta.
Lomba bidar terus dikembangkan hingga sekarang dan seterusnya akan hidup sebagai seni tradisional dayung Palembang. Kini, perlombaan tersebut menjadi ajang yang ditunggu-tunggu masyarakat Palembang saat perayaan Hari Kemerdekaan RI tiba.
Demikian ringkasan legenda asal mula lomba bidar di Palembang sebagai seni dayung tradisional Kota Pempek. Semoga berguna, ya.
Simak Video "Video: 2 Pegawai Dinas PUPR Palembang Baku Hantam gegara Tersinggung di Medsos"
[Gambas:Video 20detik]
(mep/mep)