Prasasti-prasasti Kerajaan Sriwijaya

Sumatera Selatan

Prasasti-prasasti Kerajaan Sriwijaya

Suki Nurhalim - detikSumbagsel
Rabu, 13 Nov 2024 07:30 WIB
Ilustrasi Palembang
Sungai Musi/Foto: Shutterstock
Palembang -

Mengenai Kerajaan Sriwijaya di Palembang dapat ditelusuri melalui Prasasti Kedukan Bukit, yang tak jauh dari Bukit Siguntang. Prasasti tersebut menunjukkan angka tahun 682 Masehi.

Menurut Farida R. Wargadalem dalam buku Pempek Sebagai Identitas Palembang, prasasti tersebut memuat 'perjalanan suci' Dapunta Hyang Srijayanasa dengan membawa banyak tentara. Mereka berjalan melewati jalur sungai dan darat, untuk selanjutnya mendirikan wanua. Pendirian wanua bermakna mendirikan kerajaan atau kedatuan yaitu Sriwijaya. Selanjutnya, raja mendirikan taman-taman sebagai hadiah untuk rakyatnya.

Pendirian taman-taman tersebut termaktub dalam Prasasti Talang Tuo tahun 684 Masehi, yang ditemukan di daerah Talang Kelapa, Palembang. Dalam prasasti itu disebutkan pembangunan Taman Criksetra memuat beragam pohon yang bermanfaat bagi rakyat, seperti dalam isi prasasti berikut ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Semoga segala yang ditanam di sini, pohon kelapa, pinang, aren, sagu dan bermacam-macam pohon, buahnya dapat dimakan. Demikian pula bambu haur, wuluh dan puttum, dan sebagainya, dan semoga juga taman-taman lainnya dengan bendungan-bendungan dan kolam-kolamnya, dan semua amal yang saya berikan, dapat dipergunakan untuk kebaikan semua makhluk".

Prasasti tersebut menunjukkan kebaikan hati Raja Sriwijaya bagi rakyatnya dan semua makhluk. Beberapa catatan dapat diambil dari sebagian isi prasasti di atas, di antaranya adalah keberadaan pohon sagu, aren dan kelapa.

ADVERTISEMENT

Pohon sagu dapat menghasilkan tepung yang disebut sagu. Tepung itulah yang dijadikan makanan pokok selain beras. Sedangkan dari pohon aren dan kelapa dihasilkan gula, yakni gula aren dan gula kelapa yang dikenal dengan nama gulo abang.

Bendungan-bendungan dan kolam-kolam menghasilkan air dan ikan yang melimpah. Artinya, kebutuhan utama penduduk sudah terpenuhi dengan baik, ditambah dengan pohon-pohon lainnya yang memberikan kemakmuran.

Sriwijaya juga meninggalkan prasasti-prasasti lainnya di Palembang, yaitu Prasasti Telaga Batu, Bukit Siguntang, dan Pagaralam. Prasasti-prasasti tersebut memuat jabatan-jabatan dalam kerajaan tersebut, persumpahan, dan tentang perang.

Luasnya wilayah Sriwijaya juga dibuktikan dengan Prasasti Kota Kapur di Pulau Bangka (684 masehi), Karang Berahi di Jambi, Palas Pasemah dan Bungkuk di Lampung, Ligor (Thailand), dan India. Sriwijaya juga disebut-sebut dalam berita China.

Pada tahun 671, I-Tsing singgah di Sriwijaya dalam perjalanannya menuju India. Sriwijaya adalah pusat pembelajaran Agama Buddha dan Bahasa Sansekerta. Sriwijaya juga berkali-kali mengirimkan utusan ke China.

Tidak hanya dengan China, Sriwijaya juga menjalin hubungan baik dengan Nalanda India, yang ketika itu merupakan pusat Agama Buddha di India dan dunia. Luasnya hubungan Sriwijaya dengan berbagai bangsa di dunia, menggambarkan kebesaran Sriwijaya yang dikenal sebagai kerajaan maritim pertama di Nusantara.

Pada abad ke-11, Sriwijaya mengalami kemunduran akibat serangan Kerajaan Chola India, sehingga pusat perdagangan dunia berubah dari Selat Malaka (Kedah) ke Aceh (Pasai). Kondisi demikian tidak menyurutkan Sriwijaya sebagai kerajaan besar, terbukti jalur laut terus berkembang.

Namun makin melemahnya Sriwijaya tak terelakkan, hingga diduduki Majapahit pada 1377 Masehi. Mundur dan diduduki pihak lain apakah membuat ibu kota Sriwijaya pindah dari Palembang? Menurut Farida, Woelter pernah berpendapat ibu kota berpindah ke Jambi, tapi pendapat itu dibantah oleh Miksic (2013).

Menurut Miksic, tidak semudah itu pusat pemerintahan bisa pindah. Sebab, Palembang memiliki segalanya sebagai pusat kerajaan yang ideal. Jika ada kalimat indah 'tiada peradaban Mesir tanpa Sungai Nil', maka hal yang sama dapat disematkan pada Palembang yaitu 'tiada peradaban Sriwijaya tanpa Sungai Musi'.

Jadi, Sungai Musi adalah penentu segalanya. Musi melegenda dari generasi ke generasi. Lebih lanjut, Miksic menyebut pendapat di atas didukung dengan fakta bahwa sejak abad ketujuh Jambi sudah menjadi bagian Sriwijaya. Jadi, Palembang tetap menjadi ibukota hingga dikuasai Majapahit.

Itulah gambaran Palembang dengan Sungai Musinya. Sungai terbesar dan terpanjang di Sumatera itu telah memberikan segalanya bagi penduduknya. Kebesaran Sriwijaya, kekayaan dan kejayaan Kesultanan Palembang telah membuktikan semua itu, walau terpaksa berada di bawah kendali Kolonial Belanda, Inggris dan Jepang.

Palembang tetap menjadi kota penuh dinamika dengan segala pesona yang dimilikinya. Salah satunya adalah daya tarik kuliner.




(sun/csb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads