Modal Asing Bikin Harga Karet di Sumsel Terus Merosot

Sumatera Selatan

Modal Asing Bikin Harga Karet di Sumsel Terus Merosot

Welly Jasrial Tanjung - detikSumbagsel
Minggu, 14 Jul 2024 18:30 WIB
Petani menyadap getah karet di kebun miliknya di Desa Suak Raya, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat, Aceh, Minggu (30/6/2024). Harga getah karet tingkat petani sejak tiga bulan terakhir mulai membaik dari Rp10.300 per kilogram naik menjadi Rp11.400 hingga Rp12.000 per kilogram tergantung kualitas. ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/foc.
Ilustrasi kebun karet/Foto: ANTARA FOTO/SYIFA YULINNAS
Palembang -

Karet merupakan komoditi unggulan Sumatera Selatan (Sumsel). Namun seiring berjalannya waktu, eksistensi karet Sumsel kian merosot akibat produksi karet mentah tidak disokong peran pemerintah, untuk menjaga kestabilan harga bagi para petani.

Kepala Bidang Perekonomian dan Pendanaan Pembangunan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sumatra Selatan (Bappeda Sumsel), Hari Wibawa mengatakan harga karet masih naik turun. Itu dipengaruhi oleh pasar luar negeri seperti Singapura dan lainnya.

"Jika tidak ada kenaikan harga karet malah terus menurun dan lahan berkurang, maka pabrik karet bisa tutup," ujar Hari, Minggu (14/7/2024).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Hari, pemerintah memiliki andil besar untuk mendukung petani dapat menghasilkan produk karet yang bersih. Sebab, karet Sumsel terkenal tidak bersih sehingga saat masuk pabrik harus dicuci lagi.

Saat ini, persoalannya adalah hampir 90 persen Penanaman Modal Asing (PMA) adalah investor dari luar. Sehingga harga karet sama dengan Singapura, bukan harga lokal.

ADVERTISEMENT

"Seharusnya ada interpensi dari pusat. Sehingga harga karet dapat bersaing, seperti kelapa sawit yang saat ini menjanjikan," tuturnya.

Karet Sumsel banyak diekspor ke Jepang. Tapi banyak juga ke Singapura dan Thailand karena PMA-nya banyak dari sana. Inilah yang menjadi salah satu menyebabkan harga karet terus menurun. Tantangan terbesar pemerintah mengembalikan entitas komditi unggulan daerah adalah dengan program peremajaan kebun karet dari bantuan pendanaan negara.

"Ada tantangan dalam hal peremajaan kebun karet, dan perlunya dukungan dana pemerintah. Perjuangan ini mirip dengan peremajaan kebun sawit, yang sudah mendapat dukungan pajak," ujarnya.

Secara umum, eksportir produk karet dominan pengiriman ke Jepang. Namun karena pemilik pabrik karet adalah pengusaha dengan sokongan PMA dan rata-rata berasal dari Singapura dan Thailand serta Malaysia, maka harga karet menyesuaikan nominal asing di sana.

"Produk karet ini sekitar 70-80 persen milik petani lokal, namun dikuasai dana pasar internasional. Sedangkan pemerintah kita sendiri tidak mampu membiayai peremajaan karet sampai barang jadi," pungkasnya.




(sun/dai)


Hide Ads