Terik matahari siang itu cukup menyengat. Di pinggir Jalan Mayjen Yusuf Singadekane, Kecamatan Kertapati Palembang terlihat ada sebuah pondok yang terbuat dari kayu beratap seng, ada seorang wanita duduk santai di bawahnya. Di hadapan wanita itu berjejer ratusan ikan salai yang dijualnya, ada yang masih berada di atas wadah dari bambu dan juga dalam kemasan plastik.
Wanita yang menggunakan baju kaos warna biru dan jilbab cokelat itu bernama Sri Indrawati. Sri hanya sendiri saat itu, biasanya ia ditemani sang anak. Namun pada siang itu, anak Sri sedang mengantar ayahnya bekerja.
Meski belum ada pembeli saat itu yang menghampiri tempat dagangan Sri, namun wanita berusia 47 tahun itu pantang menyerah. Ia terus menawarkan produk ikan salainya kepada orang-orang yang melintas di depan pondoknya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sesekali juga wanita paruh baya ini pun mengecek handphonenya untuk melihat sosial media (sosmed) jika ada pesanan lewat online. Namun lagi-lagi, ia harus bersabar karena belum ada pesanan yang masuk.
"Namanya dagang, harus banyak sabar. Yang penting kita sudah berusaha. Sedikit demi sedikit, menjadi bukit. InsyaAllah," kata Sri kepada detikSumbagsel, sembari menguatkan dirinya sendiri.
Sri menjelaskan, dagangan yang ditawarkannya adalah ikan salai. Ikan ini merupakan ikan yang teknik produksinya dengan pengasapan. Namun, Sri menjelaskan bahwa semua ikan salai yang dijual adalah hasil produksinya sendiri.
Meski masih menggunakan teknik tradisional, namun Sri mengaku mampu mempertahankan usahanya selama 15 tahun ini.
"Saya sudah mulai usaha ini sejak 15 tahun yang lalu. Anak dan suami yang membantu saya selama ini. Usaha kami ini masih tradisional, tapi Alhamdulillah usaha ini bisa tetap bertahan hingga sekarang," jelasnya.
Lokasi produksinya ternyata tak begitu jauh. Yakni berada di belakang pondok lapak dagangan, atau tepat berada di depan rumahnya sendiri. Diakui Sri, lokasi rumahnya cukup jauh dengan rumah warga lain, sehingga asap dari hasil produksi tidak mengganggu warga sekitar.
"Saya itu membuat ikan salai untuk macam-macam jenis ikan. Ada ikan baung laut, ikan lais, patin, lele sawah dan ikan lainnya. Kadang ada yang pesan juga ikan salai gabus. Kita buat ikan salai yang diminati masyarakat dan sesuai orderan," kata dia.
![]() |
Tempat produksinya sangat minimalis, yakni tungku api yang di bagian atasnya sudah terpasang oven berukuran besar. Oven setinggi 170 cm itu terbuat dari seng, di bagian dalamnya ada beberapa sekat-sekat dari kawat sebagai wadah menempatkan ikan-ikan saat hendak diasapi. Saking tradisionalnya, bahan bakar yang dipakai untuk mengasapi ikan-ikan tersebut dari kayu. Ia menilai dengan bahan bakat ini hasilnya akan lebih optimal bagi ikan salai tersebut.
Awalnya ia menggunakan oven yang lebih kecil dan hanya bisa menampung sekitar 10 ikan saja di dalamnya. Tapi pada 30 Juni 2022 lalu, ia mendapatkan bantuan dari Universitas Sumatera Selatan (USS) dalam rangka Pelatihan dan Praktek Teknik Pengasapan Ikan dan Introduksi Gambir. Bantuan itu berupa tungku dan oven pengasapan.
"Dengan tungku dan oven pengasapan yang lebih besar ini, ikan yang akan diasapi pun bisa menampung lebih banyak," kata dia.
Ikan yang dijadikan ikan salai tersebut dibeli Sri setiap harinya di pasar tradisional. Menurutnya, tak ada ketentuan khusus atas ikannya, asal masih dalam kondisi segar.
"Ikannya saya beli di pasar sinilah. Tapi sesuai dengan modal yang saya pegang, kecuali jika ada pesanan khusus barulah dibeli seperti ikan baung, ikan gabus dan lain-lain yang harganya cukup tinggi," jelasnya.
Dalam sehari, Sri dapat memproduksi ikan salai paling sedikit 20 Kg dan jika sedang banyak bisa mencapai 70-100 Kg. Pembeli atau pemesan ikan salai hasil produksinya ada dari dalam dan luar kota sebagai oleh-oleh. Bahkan cukup banyak restoran yang mengambil ikan salai di tempatnya.
Sri mengungkapkan proses produksi ikan salai cukup panjang dan memakan waktu lama. Dari ikan dibeli lalu dibersihkan atau disiangi. Setelah itu, ikan-ikan dicuci bersih lagi barulah kemudian disusun di tungku dan oven pengasapan tersebut.
"Proses pengasapan itu bisa sampai satu hari. Kalau mau lebih kering bisa dua sampai tiga hari. Akan lebih lama lagi jika kondisi hujan," jelasnya.
Sri mengaku awal membuka usahanya itu penuh keraguan. Bukan hanya Sri, tapi ada beberapa pemilik usaha yang serupa di daerah itu juga mengalami hal yang sama. Belasan tahun lalu, kata Sri, orang-orang belum mengenal daerah tersebut sehingga warga yang semua membuat ikan asin dan ikan salai kesulitan dalam hal pemasaran.
Namun warga akhirnya berinisiatif membuat pondok-pondokan yang berjejer di sepanjang pinggir jalan tersebut. Hingga kini, kawasan itu berkembang dan terkenal sebagai daerah produksi ikan salai.
"Dulu sebenarnya saya juga buat ikan asin, tapi minat masyarakat paling banyak ke ikan salai. Karenanya kami bertahan pada produksi ikan salai saja," jelasnya.
Kini usahanya sudah dibantu dengan alat canggih aplikasi di handphonenya. Ia juga kerap kebanjiran order dari marketplace, tempatnya bergabung untuk menjual hasil produksi ikan salainya. Dia juga menjajakan dagangannya di medsos Instagram, Facebook dan lainnya.
"Saya juga terima jika ada yang order ikan salai dalam partai besar, biasanya mereka sudah langganan. Tinggal pesan via telpon saja, nanti kami antar atau mereka datang ke sini buat ambil barangnya," jelasnya.
Sri juga bersyukur karena dalam mengembangkan usahanya kerap dibantu oleh pemerintah daerah. Ia bisa mendapatkan izin tempat, Nomor Induk Berusaha (NIB), Izin Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT), Sertifikat Halal, dan HKI Merek.
"Dari perikanan sudah dibina dalam bentuk sosialisasi, dari dinas-dinas terkait seperti Dinas Perindustrian dan Dinas Koperasi untuk masalah perizinan sudah dibantu. Alhamdulillah untuk ikan salai ini kami sudah mendapatkan merek dan logonya. Gratis semua," jelas Sri.
![]() |
Ia kerap mendapatkan undangan dari dinas-dinas terkait, adapun undangan tersebut merupakan undangan sosialisasi, seminar, perizinan dan bazar termasuk untuk berdagang mengisi stand.
Sri menuturkan omset usaha ini tidak menentu. Terkadang sehari paling kecil itu Rp 100 ribu dan dalam sebulan Rp 3 juta. Tetapi dapat meningkat apabila bertepatan dengan tanggal merah, dan awal bulan.
Meski sudah banyak ilmu yang didapat, namun kendala bagi Sri dalam membangun usaha ini adalah dari sisi pengaturan modal dan keuntungan.
"Sudah pasti ada (kendala usaha), karena kami belum ada pengaturan keuangan, jadi kami ini masih bergabung-gabung antara modal dan jualan. Di sana kami akan terbentur masalah keuangan. Aturan kan kalau modal untuk usaha ya usaha tidak terpakai untuk yang lain. Karena modal untuk usaha sedikit jadi kami terpaksa ambil modal lain, dapat lalu kami kembalikan lalu berkurang lagi," jelasnya
Ia pun pernah mengalami cobaan besar yakni saat pandemi Covid-19 lalu. Sri menjadi salah satu dari sekian pedagang di Indonesia yang turut terdampak imbas lockdown. Sri mengungkapkan omset penjualannya menurun drastis. Namun ia tetap menekuni usahanya tersebut dan akhirnya kembali bangkit.
"Dari sana sebenarnya saya mengenal penjualan dengan online. Dan dari situlah juga, usaha saya kembali berangsur membaik dan bangkit lagi," pungkasnya.
(dai/dai)