Emisi gas rumah kaca (GRK) menjadi fokus utama setiap negara. Di Indonesia, berbagai pihak berupaya dalam mengurangi emisi gas rumah kaca tersebut, di antaranya dengan pengelolaan lahan gambut.
Namun dalam praktiknya, masih ditemui berbagai kendala. Agar bernilai ekonomis, pengelolaan lahan gambut harus membuat drainase untuk menurunkan muka air tanah, namun praktik tersebut dapat membuat lahan kering dan rentan terbakar.
"Penurunan lahan atau subsidence dan meningkatnya emisi GRK adalah dampak dari aktivitas ekonomi di lahan gambut," ujar Kepala Balai Pengujian Standar Instrumen Tanah dan Pupuk Kementerian Pertanian Ladiyani Retno Widowatin, Selasa (12/11/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diungkapkannya, pemerintah menetapkan target penurunan GRK 29 persen pada 2030 dalam Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC). Strategi penurunan dengan mengurangi deforestasi, mencegah kebakaran, dan memperkuat tata kelola gambut melalui Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).
Upaya ini berkolaborasi dengan Kementan-International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF) dan BRIN dalam proyek Peat-Impact (Improving the Management of Peatlands and the Capacities of Stakeholders) di Indonesia. Proyek ini dilakukan di Sumsel dan Kalbar sejak 2020, untuk mendukung target NDC melalui pengelolaan lanskap gambut yang baik dan penguatan kapasitas petani melalui pelatihan dan praktik budidaya pertanian.
Sekretaris Badan Standardisasi Instrumen Pertanian Kementan Haris Syahbuddin menambahkan, ekosistem gambut Indonesia dengan luas Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) mencapai 24 juta hektar, punya peran dalam mitigasi perubahan iklim global.
Ekosistem gambut memiliki fungsi menyimpan karbon, mengatur hidrologi, dan mendukung keanekaragaman hayati. Namun, pengelolaan yang tidak berkelanjutan seperti drainase berlebihan dapat menyebabkan kebakaran yang melepaskan GRK dalam jumlah besar. Akibatnya terjadi perubahan iklim, polusi udara, dan kerugian ekonomi.
"Jika praktik Peat-Impacts di Sumsel dan Kalbar ini diterapkan ke seluruh Indonesia, maka dampak positifnya bukan hanya untuk Indonesia, tetapi juga bagi dunia," kata dia.
Direktur ICRAF Program Indonesia Andree Ekadinata mengapresiasi kolaborasi para pihak dalam pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. Dia juga menyoroti pentingnya keterlibatan berbagai level pemerintahan dan masyarakat lokal dalam mendukung keberhasilan proyek ini.
"Peat-Impacts memiliki tujuan memperkuat kapasitas para pemangku kepentingan dan menciptakan solusi nyata untuk pengelolaan gambut yang adaptif dan berkelanjutan," katanya.
Prinsiple Investigator Proyek Peat Impacts Sonya Dewi mengatakan, program yang dimiliki didesain untuk membantu pemerintah menata kelola gambut berkelanjutan. Berbagai pendekatan metodologi dan alat bantu telah dikenalkan untuk membantu pemangku kepentingan mendukung perencanaan dan tata kelola pembangunan.
"Upaya peningkatan kapasitas ini juga melibatkan pelatihan teknis untuk lembaga pemerintah dalam membuat dan menegakkan kebijakan, pelatihan praktik pertanian berkelanjutan bagi masyarakat lokal, dan integrasi konservasi gambut ke dalam model bisnis sektor swasta," katanya.
Peat-Impacts juga mengembangkan kurikulum gambut di tingkat sekolah dasar dan menengah agar dikenal sejak dini. Kemudian pembentukan WikiGambut, platform digital yang menyediakan informasi komprehensif mengenai ekosistem gambut, pengelolaannya, serta praktik berkelanjutan untuk menjaga kelestariannya.
"Dengan komitmen yang kuat dan dukungan dari berbagai pihak, Indonesia optimis mampu mencapai target NDC serta memberikan kontribusi yang signifikan dalam upaya mitigasi perubahan iklim global," tukasnya.
(dai/dai)