Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bangka Belitung (Babel) menyoroti kasus korupsi timah Rp 300 triliun. Negara disebut dalam delusi menyelesaikan kasus korupsi tata niaga timah tersebut.
Direktur Eksekutif Walhi Babel Ahmad Subhan Hafiz mengatakan, korban utama dari kasus korupsi ini yakni ekologi. Sebab, kata dia, akumulasi kerugian negara atas kerusakan lingkungan akibat tambang timah ilegal mencapai Rp 271 triliun.
Lanjutnya, dalam kurun waktu 2014 hingga 2020, Kepulauan Babel telah kehilangan hutan tropis seluas 460.000 hektare, dari luas daratan 1,6 juta hektare.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hancurnya ekologi akibat kasus korupsi pertambangan timah di kawasan hutan maupun luar kawasan ini seharusnya ditangani oleh multi stakeholder pemerintahan," kata Hafiz kepada detikSumbagsel, Selasa (27/8/2024).
"Hingga saat ini belum ada sinyal untuk memulihkan ekologi Kepulauan Bangka Belitung yang rusak akibat masifnya eksploitasi pertambangan timah. Bahkan penetrasi tambang terus meluas hingga merusak ekosistem pesisir dan laut," timpalnya.
Selain hutan, lanjut Hafiz, ekosistem sungai juga memiliki peran penting dalam menghubungkan kebudayaan daratan dan laut Bangka Belitung. Tercatat ada lebih dari 2 ribu sungai yang bermuara di Selat Bangka dan Pesisir Timur yang berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan.
"Tahun 2019, sekitar 55 % sungai tercemar, yang diperparah dengan degradasi hutan mangrove seluas 10.858 hektare, hanya dalam kurun waktu satu tahun (2019-2020). Pemulihan ekologi serta jaminan hak masyarakat atas lingkungan yang baik dan berkelanjutan menjadi syarat wajib pertanggungjawaban dari kasus korupsi tata niaga timah di Babel," ungkapnya.
Tak hanya itu, eksploitasi pertambangan timah menyebabkan angka lahan kritis di Bangka Belitung terus bertambah. DLH Bangka Belitung mencatat, pada 2022 lahan kritis mencapai 167.104 hektare dari total 1.668.933 hektare hutan dan lahan.
Ancaman Bencana Ekologis di Masa Depan
Walhi Babel juga menyebut kerusakan lanskap daratan Bangka Belitung, mendorong terjadinya sejumlah bencana alam, mulai dari kekeringan, longsor, hingga banjir. Diketahui, pada 2015, Pulau Bangka mengalami kemarau panjang hingga lima bulan (Juni-Oktober).
Kemudian pada 2016, banjir besar menerpa sejumlah wilayah Bangka Belitung. Banjir ini, kata Hafis, mengakibatkan sejumlah akses jalan lintas Kabupaten terputus, air merendam ratusan hingga ribuan rumah masyarakat.
Berdasarkan data analisis BPBD Babel di tahun 2020, dari 11 ancaman, bencana tanah longsor, banjir serta kekeringan, masuk dalam kategori resiko tinggi. Kemudian, pada 2023 BPBB mencatat ada 1.084 bencana terjadi di Babel.
"Semuanya ini diperparah dengan krisis iklim yang semakin dirasakan oleh seluruh masyarakat global. Khusus di Bangka Belitung, proses eksploitasi di daratan terutama pertambangan timah telah melebihi daya dukung lingkungan, sehingga menyebabkan bencana serta laju degradasi lingkungan dalam angka yang mengkhawatirkan," ujarnya.
Korban Jiwa Atas Kerusakan Lingkungan
Tidak hanya menimbulkan kerusakan lingkungan, aktivitas penambangan ilegal juga terus memakan korban. Walhi mencatat, sepanjang 2021-2024, ada 38 orang meninggal dunia akibat kecelakaan tambang, dan 22 orang mengalami luka-luka.
Selain itu, ribuan kolong atau lokasi bekas galian rambang yang belum di reklamasi terus memakan korban. Sepanjang tahun 2021- 2024, tercatat ada 22 kasus tenggelam di kolong. Dari 16 korban yang meninggal dunia, 13 diantaranya merupakan anak-anak hingga remaja dengan rentang usia 7-20 tahun.
"Kerusakan lingkungan pada kantung-kantung habitat buaya muara akibat tambang juga mempertajam konflik antara buaya dan manusia. Selama tiga tahun terakhir ada total 28 serangan buaya. Hal ini menyebabkan 15 orang meninggal dunia dan 13 orang luka-luka," tegas Hafiz.
Dengan adanya ini, Walhi Babel memberikan dua pendekatan untuk menyelamatkan lingkungan di Kepulauan Bangka Belitung. Pertama, dikembalikan dan dipulihkan lanskap adat yang selama ini dikelola masyarakat adat.
Kedua, pemerintah (pusat dan daerah) melahirkan sejumlah kebijakan yang benar-benar melindungi wilayah darat dan laut, seperti moratorium izin, penegakan hukum lingkungan, dan pemulihan berbasis kearifan lokal.
"Kejagung juga harus memberikan transparansi terkait lanskap yang rusak akibat korupsi tata niaga timah di Bangka Belitung. Sehingga dalam proses penegakan hukum kasus korupsi ini juga berkontribusi terhadap pemulihan lingkungan dan masyarakat terdampak. Tanpa tanggungjawab tersebut, penyelesaian kasus korupsi timah hanya delusi negara," tambah Hafiz.
(dai/dai)