Produk turunan sawit disebut cukup banyak, bisa menggantikan produk turunan minyak bumi berbahan fosil atau petrokimia yang tak menerapkan konsep berkelanjutan (sustainable). Produk turunannya juga bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan pangan, bahan kimia maupun bahan bakar nabati.
Hal itu disampaikan Peneliti Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) LPPM Institut Pertanian Bogor Prof Erliza Hambali dalam workshop "Hilirisasi Minyak Sawit menjadi Produk Oleopangan, Oleokimia dan Biofuel: Peluang dan Tantangannya" didukung Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dan APOLIN, Selasa (25/6/2024).
"Produk turunan sawit bisa untuk kebutuhan produk olepangan, oleokimia dan biofuel. Kita menargetkan turunan sawit bisa menggantikan semua bahan kimia. Yang tadinya mengandalkan petrokimia, kini bahan-bahan itu bisa dari sawit," ujar Erliza.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menyebut, bahan petrokimia lebih mahal ketimbang sawit. Padahal, turunan sawit juga dinilai lebih ramah lingkungan, berbeda dengan bahan dari petrokimia. Karena itu, hilirisasi bahan dari sawit akan lebih menguntungkan dibandingkan menggunakan petrokimia.
"Ada 560 jenis, produk petrokimia yang semuanya itu bs dibuat dari sawit. Tapi, perlu kebijakan pemerintah untuk mengimplementasikannya," katanya.
Erliza menjelaskan, skema TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) 25% bisa diterapkan sebagai upaya menaikkan penggunaannya. Misal bahan sawit dipakai untuk deterjen, sabun dan sebagainya menggunakan produk turunan sawit.
"Memang belum ada kebijakan itu, tapi jika bersama-sama dan kompak dengan seluruh produsen penghasil sawit di Indonesia bisa saja direalisasikan. Sebab, sawit masih lebih baik ketimbang bahan lainnya," jelasnya.
Ketua Tim Kerja Industri Berbasis Kelapa Sawit Ditjen Industri Agro Kementerian Perindustrian, Lila Harsya Bachtiar menambahkan, hilirisasi sawit secara bertahap sudah mulai dilakukan.
"Pada 2010 ekspor CPO masih kisaran 60% dan 40% olahan. Pada 2023 tinggal 7% yang kita ekspor dalam bentuk CPO atau CPKO dan 93% ekspor dalam bentuk olahan," ujarnya.
Indikator lainnya, ragam produk turunan sawit dari 54 jenis, saat ini sudah 154 ragam jenis. Hanya saja, penggunanya masih skala industri besar.
"Tantangan saat ini bagaimana mewujudkan kemandirian petani agar bisa mengolah sendiri menjadi minyak sawit dan turunannya," katanya.
Pihaknya juga akan terus menekan kampanye negatif sawit. Melalui kegiatan ini, ia berharap semua pihak bisa menilai bahwa sawit itu baik. Yakni dengan komunikasi masif hingga ke generasi muda.
"Dengan sawit juga kita mampu stay dengan pertumbuhan ekonomi yang baik," tambahnya.
Dekan Fakultas Pertanian Unsri Prof A Muslim mengatakan, isu miring kepada Indonesia atas industri dan produk sawit dianggapnya sebagai persaingan bisnis. Negara lain memproduksi minyak nabati dari kedelai, jagung dan bunga matahari yang produksinya tidak efisien.
Sawit hanya butuh lahan 4,5% untuk menghasilkan minyak nabati 34,2%. Jauh lebih efisien dibandingkan kedelai yang butuh lahan 40,5% dengan hasil minyak nabati 30,2%.
"Sehingga isu lingkungan selalu dihembuskan, disebut sawit butuh air banyak padahal padi dan tanaman lain juga sama butuh air banyak. Tapi, mengapa hanya sawit yang dipermasalahkan," tukasnya.
(dai/dai)