Pemerintah akan mengeluarkan peraturan presiden (Perpres) tentang perlindungan anak dari game online. Lalu, bagaimana nasib Free Fire?
Dikutip detikNews, Perpres ini muncul karena maraknya tindak kriminalitas seperti kekerasan, pornografi, pelecehan seksual, dan perundungan yang dilakukan anak-anak di bawah umur, akibat pengaruh game online.
"Progresnya sudah harmonisasi antara kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Sehingga tugas dan fungsi serta kewenangannya tidak timpang tindih. InsyaAllah tahun ini ditargetkan rampung," kata Deputi Perlindungan Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan Anak (KPPA) Nahar kepada wartawan, Rabu (17/4/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Nahar, bermain game yang mengandung kekerasan berdampak buruk pada perkembangan mental dan perilaku serta dan remaja. Karena itu, pemerintah akan terus mengawasi konten atau game online yang mengandung kekerasan dan dapat mempengaruhi perilaku anak-anak.
Ia juga menjawab pertanyaan terkait kemungkinan Kementerian PPPA merekomendasikan game online seperti Free Fire diblokir. Menurut Nahar, Free Fire harus diperketat dan diawasi.
"Pengaruhnya banyak dan sangat kompleks. Risiko yang dihadapi termasuk konten, perilaku, kontak fisik, perilaku konsumen. Konten-konten tidak sesuai dengan rating usia anak-anak. Ini (Free Fire) yang harusnya diperketat dan diawasi. Risiko-risiko dari perkembangan perilaku yang dapat membahayakan dan mempengaruhi anak-anak," paparnya.
Sementara Psikolog Stenny Prawitasari menilai game Free Fire berisiko mempengaruhi kesehatan mental dan emosional anak-anak. Jika permainan itu terus dimainkan oleh anak-anak, maka sang anak dinilai cenderung tidak bisa membedakan mana kekerasan yang nyata dan tidak nyata.
"Game seperti Free Fire mengandung adegan kekerasan yang intens, termasuk pertempuran dan penggunaan senjata. Bermain game semacam ini secara berulang dapat membuat anak-anak menjadi desensitisasi terhadap kekerasan, di mana mereka mungkin menjadi kurang peka terhadap konsekuensi nyata dari tindakan kekerasan," jelas Stenny.
Menurut Stenny, beberapa penelitian menunjukkan korelasi antara bermain game dan peningkatan agresi pada anak-anak. Dalam lingkungan yang kompetitif seperti game bergenre battle royale, anak-anak lebih rentan terhadap perilaku agresif, seperti berkata kasar atau mengekspresikan kemarahan saat kalah dalam permainan.
Ia menambahkan itu juga dapat menyebabkan keterlambatan dalam perkembangan keterampilan sosial. Termasuk kemampuan berkomunikasi anak-anak.
Harapan Stenny, pemerintah perlu memberikan perhatian yang lebih serius terhadap permasalahan dampak game online pada anak-anak. Itu memerlukan upaya untuk memperketat regulasi dan aturan yang mengatur penggunaan game online, khususnya bagi kalangan anak-anak.
Stenny menjelaskan regulasi juga bertujuan terhadap kesehatan mental dan emosional anak-anak. Pembatasan akses dan pengawasan terhadap konten game yang mengandung kekerasan dan tidak sesuai dengan usia anak, perlu diperkuat untuk melindungi generasi mendatang dari potensi dampak negatif.
(sun/des)