Masyarakat Desa Tempilang, menggelar pesta adat perang ketupat di Pantai Pasir Kuning, Kabupaten Bangka Barat (Babar). Tradisi ini adalah tradisi unik dan dipercayai sebagai ritual tolak bala.
Pantauan di lokasi, wisatawan lokal maupun luar daerah, tumpah ruah menyaksikan pesta adat yang digelar sekali setahun itu. Mereka tampak mengabadikan momen itu. Tradisi perang ketupat itu dilaksanakan pada hari ketujuh setelah Nisfu Syaban, atau sebelum datangnya bulan suci Ramadan.
Masyarakat Tempilang menyebut perang ketupat dengan sebutan Ruah. Ruah kali ini sedikit berbeda, mereka terlebih dulu melaksanakan tradisi Nganggung. Nganggung adalah makan bersama-sama, di dulang (talam) yang kemudian ditutup dengan tudung saji. Makanan di dulang ini dibawa dari rumah warga masing-masing.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian, dilanjutkan dengan penampilan tarian tradisional yakni tarian Serimbong. Sebelum prosesi perang ketupat dilaksanakan, Datuk Keman melakukan sejumlah rangkaian ritual. Di antaranya, ritual Ngancak dan Penimbongan, yakni pemberian makanan kepada makhluk halus yang bermukim di laut dan darat.
Mereka menampilkan dialog antara roh leluhur dengan seorang mediator. Dilanjutkan dengan penampilan pencak silat tradisi Seramo, diperagakan dua orang. Kemudian acara puncak.
Perang ketupat itu terbagi menjadi tiga kelompok, pertama dari kelompok peserta pencak silat atau muda-mudi penerus adat perang ketupat. Lalu, dari pejabat pemerintah dan terakhir untuk umum, termasuk penonton.
Prosesnya, ratusan ketupat terlebih dulu dibacakan mantra, kemudian dua kelompok ini saling berebut ketupat dan saling lempar, atau perang ketupat. Meskipun saling lempar ketupat, peserta ini tidak merasakan sakit dan setelah itu bersalaman.
"Ini pertama kali nonton tradisi perang ketupat. (Tradisinya) cukup seru, banyak sekali kegiatan sebelum acara perang ketupat itu sendiri. Ada tari-tariannya, baju adatnya, bagaimana ritual-ritual ini dilakukan hingga melarung perahu," kata Nia, salah satu wisatawan kepada detikSumbagsel, Minggu (3/3/2024).
Nia datang bersama-sama rekanya untuk menyaksikan pesta adat perang ketupat. Dia berharap agar tradisi ini bisa terus dilestarikan secara turun temurun.
"Seru-seru, semoga ke depan perang ketupat menjadi salah satu agenda nasional, agar diketahui seluruh masyarakat Indonesia," harapnya.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangka Barat, Muhammad Ali mengatakan tradisi ini sudah turun-temurun dan dikenal sejak tahun 1800-an. Namun di era saat ini, perang ketupat menjadi tempat silahturahmi.
"Semasa kini, perang ketupat ini menjadi tradisi dan menjadi tali penghubung silahturahmi antar masyarakat," kata Ali.
Ditambahkan Ali, selain jadi ajang silahturahmi antar pemimpin dan masyarakat, perang ketupat juga dijadikan sebagai melepas amarah.
"Ini juga dijadikan sebagai melepaskan rasa amarah atau emosi menyambut dan melaksanakan puasa. Kemudian setelah ini, kita datang ke rumah-rumah warga seperti lebaran," jelasnya.
Usai perang ketupat, mereka melarung perahu berisikan sesajenan untuk rasa syukur atas rizki yang di dapat dari laut dan sekaligus membuang bala. Kegiatan terakhir, adalah taber batas kampung, adalah taber atau menyebar cairan yang telah diberi mantra keliling ke sejumlah rumah warga. Tujuannya untuk membuang penyakit dan tolak bala.
(dai/dai)