Gubernur Jambi Al Haris telah mengajukan permohonan judicial review Undang-Undang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pengajuan Al Haris itu terkait masa jabatannya apabila Pilkada 2024 digelar serentak.
"Kami juga demikian, berdasarkan aturan periodisasi jabatan 5 tahun. Karena pemilu serentak dimajukan, kami menuntut hak yang sama agar perlakuannya juga sama," kata Al Haris ke wartawan, Jumat (2/2/2024).
Permohonan teregister dengan Nomor Perkara 27/PUU/XXII/2024 tertanggal 29 Januari 2024. Selain Al Haris, 10 kepala daerah lainnya juga turut mengajukan permohonan agar Pilkada bisa berjalan secara dua gelombang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Karena itu kita ingin serentak pertama pada 2024 dan serentak kedua pada 2025. Ini sedang kita ajukan ke MK dan segera bersidang secepatnya," ujar Al Haris.
Dia menyebut langkah ini diajukan setelah melihat dikabulkannya gugatan kepala daerah yang terpilih pada tahun 2019. Menurut Al Haris, gugatan itu diajukan karena pihaknya juga meminta hal yang sama. Sebab, periodenya ikut terpotong apabila Pilkada digelar serentak 2024.
"Kami kemarin bupati dan wali kota bersepakat setelah melihat dinamika yang berkembang. Bahwa teman-teman yang terpilih 2019 diberikan waktu perpanjangan sampai habis masa jabatannya," ujarnya.
Sejauh ini, kata dia, tidak dibunyikan adanya penjabat gubernur. Baik di gugatan ke MK maupun dalam SK gubernur yang terpilih pada Pilkada 2020.
"Maka, kalau misalnya November Pilkada, pertanyaannya apakah Desember selesai semua sengketa Pilkada dan sebagainya. Apakah 1 Januari dilantik gubernurnya, sementara tidak ada penjabat. Kami berpikir bahwa ketika celah itu ada, maka kita ajukan," ucap Al Haris.
Diketahui ada sebanyak 11 kepala daerah meminta judicial review terhadap Undang-Undang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menggugat karena menilai Pilkada serentak 2024 bermasalah dan bertentangan dengan konstitusi.
Adapun 11 kepala daerah yang bertindak sebagai pemohon terdiri dari Gubernur Jambi, Gubernur Sumatera Barat, Bupati Kabupaten Pesisir Barat, Bupati Malaka, Bupati Kebumen, Bupati Malang, Bupati Nunukan, Bupati Rokan Hulu, Walikota Makassar, Walikota Bontang, Walikota Bukittinggi. Mereka mewakili kepentingan dari 270 Kepala Daerah yang terdampak.
(dai/dai)